Surat dari ChaCha (11)

58 8 1
                                    

Secarik kertas mewakili segalanya

Aku menguap sambil menutup mulutku. Rasanya lelah sekali, menjadi wanita karier memang seperti ini.

Laptop bertengger di hadapanku. Kopi di atas nakas dan jangan lupakan sebungkus cemilan. Lembur lagi.

Pagi tadi Ibu mengirimiku pesan,ibu bilang ia baru saja mengirim beras hasil panen dua hari yang lalu.

Ibu memintaku menjemput beras itu ke terminal karena memang itu satu-satunya cara mengirim hasil panen dari kampung.

Sudah sering ku larang tapi ibu tak pernah mendengar ku. Bukannya aku tak punya uang untuk membeli beras,ah sudahlah ibuku memang seperti itu.

Tak apa, beras hasil panen jauh lebih baik daripada yang dijual di pasar.

Agar putri Ibu juga merasakan nasi baru,hehe...

Semangat nak,tahun baru kamu pulang ya.

Ibu mendoakan mu dari sini, sehat selalu Putriku.

Jangan lupa makan dan istirahat. Uang bukan segalanya, kesehatan adalah yang utama. Untuk apa punya banyak uang tapi penyakitan? Ingat pesan ibu ya---jangan sampai sakit.

Lemahnya aku jika mendengar suara ibu, beginilah dampaknya.

Rindu senyumannya, rindu melihat tawanya, rindu tidur disampingnya, rindu masakannya, semua tentang ibu adalah kerinduan. Wanita itu terlalu menyesatkan hatiku yang rapuh ini.

Tuntutan pekerjaan membuatku tak bisa pulang kampung. Dua kali setahun itupun jika bos mengizinkan. Berada diposisi ku sekarang antara sedih dan bahagia, berdamping sesekali bertolak belakang.

Benar kata Ayah, nikmati selagi bisa karena orang yang kita anggap hidupnya enak belum tentu bisa bahagia.

Saat Ayah mengatakan itu, aku masih belum bisa mencernanya.

Namun sekarang aku mengerti maksudnya. Orang-orang yang kita anggap hidupnya enak dengan semua harta benda yang ia miliki belum tentu bisa seperti kita.

Berkumpul bersama keluarga bahkan  menatap wajah-wajah penyemangat hidup ini, mereka sangat kesulitan.

Beruntunglah kalian yang masih bisa merasakan masakan Ibu, tidak semua orang bisa seberuntung kalian.

Semua ada Konsekuensinya.

Jika kita berjuang untuk mendapatkan sesuatu maka kita juga harus ikhlas untuk kehilangan sesuatu.

Menyesap kopi yang mulai menghangat hingga kandas, pandanganku terarah pada buku kusam yang selalu ku letakkan disudut meja. Bertumpuk sampai empat bagian, yang paling atas kini sudah berada di tanganku.

Sudah kubaca setengah kini tinggal seperempat lagi karena memang buku itu tak sampai habis ditulis. Paling belakang kosong, putihnya berubah menjadi sedikit kecoklatan.

Diasha, setelah hari kelahiran--

Ini tentang anak perempuan yang berkali-kali dipatahkan,

Anak perempuan yang menangis setiap malamnya,

Dan anak perempuan yang gagal menjadi dirinya sendiri.

Sajak yang hilang,

Semilir angin diutara, melambai jauh disebrang sana,
Seorang gadis dengan gaun putihnya, memandang tak tentu arah.

   Seakan ada yang hilang dari dalam dirinya bagai dedaunan  gugur pada musim nya.

Mencoba berbagai cara, berkorban dengan air mata hingga tersesat tak tentu arah.

Takdir tidak berpihak padanya,
Sajak yang ia impikan berlari darinya hingga tidak bisa disentuh lagi.
Tanpa pamit, tanpa ucapan selamat tinggal kini hampa.

Sekarang tinggal ia seorang diri dengan takdir dan nasib yang saling beradu.

Setelah kepergian semua tidak akan kembali.

Dewasa adalah luka.

Dewasa adalah air mata

Dewasa menyakitkan

Dewasa merusak

Dewasa mendustai

Dewasa adalah kehilangan

Tapi

Dewasa memberi pelajaran dan peluang dalam satu waktu yang sama.

Kini pilihanmu, bertahan atau menyerah?

Jika menyerah silahkan akhiri tapi ingat betapa sia-sia nya hidupmu selama ini.

Dan

Jika bertahan maka nikmatilah hasil dari proses mu dibentuk hingga hari ini.





Surat dari ChaCha (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang