"Entah kalian yang tidak bisa menghargai, atau memang kalian tidak punya hati untuk berhenti membully."
-×-"Pagi si Edan!" Sapaan yang sangat Yova benci. Stigma yang semakin membuat orang mempercayai kalau dia tidak waras.
Yova yang sibuk memakirkan sepedanya hanya diam. Fahmi dan Aldan juga memarkirkan motornya. Merasa tak mendapat jawaban, Aldan berjalan menghampiri Yova sembari melepas helmnya.
"Kok diem, sih?" tanyanya tepat di samping Yova.
"Tahu tuh! Apa lo tambah semakin gila?" Sangat menyakitkan untuk di dengar. Kapan mereka akan berhenti melakukan hal itu untuk sedikit membantu pemulihannya?
"Gue lagi jaga mood gue biar stabil untuk hari ini. Jadi, bisa enggak, enggak usah buat ulah?" balas Yova sedikit tenang. Ia tak ingin delusi dan halusinasi menyerang dirinya di pagi harinya.
"Sok pake jaga mood, kalau gila mah, gila aja." Kalimat yang begitu menusuk di hati Yova terucap begitu saja dari lisan Fahmi.
"Gue ada salah apa sama lo pada?" tanya Yova membalik badan agar dirinya bisa melihat Fahmi dengan mulut yang sepertinya tidak disekolahkan.
"Kenapa lo gila? Kalau gila tuh, enggak usah sekolah," sarkas Aldan.
"Gue rasa, lo berdua yang gila. Enggak mampu buat ke psikolog, ya? Kasihan!" tandas Yova yang lalu pergi karena tak ingin memperpanjang masalah yang akan tak ada habisnya jika ia ladeni.
"Lo itu yang harus periksa!" teriak Aldan dengan tawanya dan Fahmi yang mengikuti.
"Pacar lo kemana?" tanya Aldan yang mengedarkan pandangannya mencari keberadaan Nara yang biasanya datang bersama Fahmi.
"Katanya dianter bokapnya. Ya udah ayo masuk," ajak Fahmi yang berjalan mendahului Aldan.
"Eh, Bro. Apa bener kita yang udah gila?" tanya Aldan yang menyamakan langkahnya dengan Fahmi.
"Lo juga stres kayaknya!" sarkas Fahmi menjontor dahi Aldan.
"Anjir! Lo juga stress berarti!" ejek Aldan yang tak terima kalau dirinya dikata 'stres'.
"Bodo ah! Gue laper, kuy cari jajan," ajak Fahmi yang barlari kecil menuju kantin. Aldan hanya menggelengkan kepalanya heran lalu melangkahkan kakinya mengikuti arah Fahmi ke kantin.
-×-
T
angannya terus membalikkan halaman buku yang ia letakkan di atas meja dengan buku tulis di sandingnya. Mulutnya berkomat-kamit membaca penjelasan dalam buku yang sedikit membuatnya pening.
Setelah sedikit memahami, Yova mencatatnya di buku tulisnya. Tugas dari guru mata pelajaran sejarah yang sekarang sedang berlangsung sudah selesai, jadi ia memilih untuk membaca bab selanjutnya. Yova hanya ingin mempelajari, agar saat guru menjelaskan, ia tidak terlalu bingung menangkap pelajaran.
Tangannya terus giat mencatat penjelasan yang ia tangkap hasil membaca mandirinya. Soal yang ditugaskan guru sejarahnya sudah selesai beberapa menit yang lalu.
"Oke anak-anak, waktu ibu tinggal 10 menit. Untuk itu, kumpulkan hasil kalian di meja paling depan," pinta Bu Ulfa selaku guru sejarag di kelas Yova.
KAMU SEDANG MEMBACA
Medicine for Life
Teen Fiction{SEBELUM BACA PASTIKAN ANDA SUDAH FOLLOW AKUN SAYA!} Siapa yang bilang dia gila? Dia tidak gila. Hanya stigma buruk yang tertuju padanya dan membuat kondisinya semakin memburuk. Gadis remaja yang hanya menginginkan hidup normal layaknya teman lainny...