"Kalau sudah tidak percaya, ya susah."
-×-"Akhirnya ketemu weekend," lirih Yova yang menuntun sepedanya menuju keluar gerbang sekolah.
"Mari, Pak!" pamit Yova pada satpam sekolah. Yova memang ramah sebenarnya, hanya saja siswa lain yang membuat dirinya berubah.
"Iya, Nak. Hati-hati, ya!" balas satpam tersebut.
Yova langsung menaiki sepedanya. Pelan dan tetap tenang. Kepalanya tadi sempat pusing, tapi dengan tanggap ia langsung meredahkannya dengan obat.
Terkadang, Yova juga lelah dengan kehidupannya yang selalu bergantung pada obat. Namun, karena kedua orang tuanya yang tak henti mendukungnya untuk sembuh dan karena merekalah Yova kuat.
Ypva terus mengayuh sepedanya. Jarak rumah dengan sekolah tidak terlalu jauh, jadi Yova sering mengendarai sepedanya pelan.
Di waktu yang sama, Fahmi dan Aldan juga bergegas untuk kembali ke diaman mereka. Tak luput dengan Fahmi yang selalu dengan Nara.
"Al, gue mau jalan. Lo balik duluan, deh," pinta Fahmi yang mulai mengenakan helmnya.
"Cepet cari pacar, Al. Biar bisa doble date," sindir Nara yang memeluk Fahmi dari belakang.
"Izin bunda dulu. Gue 'kan anak bunda." Aldan memilih menanggapi sepasang kekasih itu dengan candaan.
"Dijodohin sama Zwetta, mampus lo," cibir Fahmi yang sudah menaiki motornya dengan Nara yang berada di belakang.
"AMIT-AMIT!" teriak Aldan dengan mengangkat kedua tangannya dan mengangkat kepalanya layaknya orang yang berdoa.
"Zwetta juga masih ada hubungan darah, jadi aman," lirihnya.
"Udah sana pergi lo. Bikin emosi aja," usir Aldan pada Fahmi dan Nara yang sedang menertawakannya.
"Jangan lupa izin bunda buat cari pacar!" Teriakan dari Fahmi membuat Aldan semakin geram dan berlagak ingin memukul Fahmi.
Terlihat Nara yang memeluk pinggang Fahmi untuk berpegangan membuat Aldan tersenyum miris. Kapan dirinya bisa seperti itu?
"SHIT MEN!" pekik Aldan.
perbincangan ketiga siswa itu tentu tak luput dari antensi banyak siswa. Karena mereka menonjol di sekolah, jelas tak masalah bagi mereka.
"Udah ah bodoh. Pulang aja, main PS lebih seru kata bunda," gerutu Aldan memakai helmnya dan segera menaiki kuda besinya untuk melaju menuju rumah.
Kembali pada Yova yang masih menikmati perjalanan santainya. Angin sore sebagai teman membuatnya tak merasakan lelah.
Jarak rumahnya tak jauh lagi. Komplek rumahnya sudah dekat. Namun, saat hendak berbelok ada mobil yang memepetnya hingga menyenggol sepeda Yova membuat ia terjatuh ke arah kiri.
Suara yang sangat keras antara benturan sepeda Yova dan aspal jalan mengalihkan fokus pengguna jalan yang lain. Untung kepala Yova tak terbentur pinggi trotoar.
Tangan kirinya menahan tubuhnya agar tak terluka parah. Bagaimana pun ia berusaha menahan, tetap ada luka di tubuhnya.
"AWH!" pekik Yova. Siku tangan kirinya terbentur pinggiran jalan dan lutut kirinya tertimpa sepedanya yang sudah ia pastikan akan terluka.
"Astaga, akhh!" rintih Yova berusaha duduk untuk sedikit meringankan sakit yang ia rasakan.
Karena suara dari jatuhnya Yova cukup kencang, satpam komplek menghampiri Yova untuk membantunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Medicine for Life
Teen Fiction{SEBELUM BACA PASTIKAN ANDA SUDAH FOLLOW AKUN SAYA!} Siapa yang bilang dia gila? Dia tidak gila. Hanya stigma buruk yang tertuju padanya dan membuat kondisinya semakin memburuk. Gadis remaja yang hanya menginginkan hidup normal layaknya teman lainny...