"Mengapa mengakui cinta itu susah?"
-×-Aldan berjalan pelan dituntun oleh Rena. Harry membukakan pintu kamar Aldan. "Udah, Bun. Udah enggak apa-apa, kok."
"Enggak apa-apa gimana! Tadi pagi aja kamu kayak anak kucing habis kecebur got!" seru Rena.
"Udah istirahat aja dulu," sela Harry.
Aldan bersandar pada punggung kasur setelah tubuhnya terduduk. "Lagian, suruh siapa tidur di bawah!"
"Namanya juga ketiduran," alibi Aldan yang senantiasa mengerutkan keningnya.
"Kamu ngapain di balkon? Galau?" timpal Harry.
"Emang balkon tempat orang galau?" tampik Aldan.
"Iya," singkat Harry.
"Kamu mau makan apa?" tanya Rena membela perdebatan mereka.
"Terserah, apa aja yang ada," balas Aldan yang masih sedikit lemas.
Rena beranjak pergi keluar dari kamar Aldan. Harry sedikit mendekat pada Aldan. Duduk di tepi kasur, sebelah Aldan. "Cowok kok sakit," cibir Harry.
Lantas Aldan menoleh pada papanya. Mengerutkan kening heran. Apa maksudnya?
"Pa, dikira cowok robot yang enggak bisa sakit?" kata Aldan tak terima.
"Papa enggak bilang gitu," sambung Harry santai. "Resek amat jadi orang. Udah sana pergi, emang enggak kerja?" timpal Aldan.
"Ini mau berangkat, istirahat aja dulu di rumah!" pesannya, dengan tangan terulur mengusap kepala Aldan.
Tak lama, Rena kembali dengan membawa nampan berisi satu porsi sarapan dan segelas air untuk Aldan. "Makasih, Bun."
"Bunda tinggal, ya? Itu nanti kalau udah makan, kbatnya diminum," tutur Rena menunjukkan obat yang baru didapat Aldan pada nakas.
"Iya." Aldan menegakkan tubuh untuk mengisi perutnya. Rena meninggalkan Aldan. Sunyi kembali mengisi kamar Aldan.
Aldan mulai melahap sarapannya. Tumis wortel dengan telur mata sapi menjadi menu makanannya hari ini.
Tak membutuhkan waktu lama, Aldan telah melahap habis dan menenggak obatnya seperti pesan yang diberikan Rena.
Energi Aldan kembali sedikit pulih. Ia tetap duduk menyandar di kasurnya. Merenungkan kenapa dirinya bisa tertidur di bawah depan balkon.
"Masa iya, gue mikir gituan aja sampe ketiduran," keluhnya, mengangkat kedua tangannya ke belakang kepala sebagai sandaran.
"Stres gue lama-lama," sambungnya.
Aldan memilih untuk tidur dengan pikirannya yang kalut. Kalau saja ia sekolah, pasti ia lebih baik.
"Yova gimana, ya?" Sebelum benar-benar memejamkan mata, terlintas Yova di pikirannya.
"Kalau Zweeta berulah lagi gimana?" Sunggug, ia khawatir dengan Yova.
"Semoga Yova enggak kenapa-kenapa. Besok harus gue pastiin kalau dia baik-baik aja," sambungnya yang lalu memejamkan mata.
-×-
"Awas lo, ya! Awas aja sampai Aldan kenapa-kenapa!" teriak Zweeta dari dalam mobil pada Yova yang mengayuh sepedanya dengan tenang.
Mobil Zweeta langsung melesat pergi. Yova hanya melihatnya tanpa berniat membalas teriakan Zweeta. "Bodoh amat, dikira gue pengasuhnya Aldan," gumam Yova.
KAMU SEDANG MEMBACA
Medicine for Life
Genç Kurgu{SEBELUM BACA PASTIKAN ANDA SUDAH FOLLOW AKUN SAYA!} Siapa yang bilang dia gila? Dia tidak gila. Hanya stigma buruk yang tertuju padanya dan membuat kondisinya semakin memburuk. Gadis remaja yang hanya menginginkan hidup normal layaknya teman lainny...