"Tidak ada yang berbeda dariku sebenarnya. Namun, mengapa kalian begitu membeci akan kekuranganku?"
-×-Yova memejamkan matanya begitu erat. Tangan kirinya terus menutup telinga dan tangan kanannya meraba meja berharap segera meraih obatnya.
"Tuh, lo itu beneran gila, Yov!" ejek salah satu siswa yang melihat Yova bergelut dengan penyakitnya.
Di telinga Yova hanya mendengar suara aneh yang begitu nyaring menerobos masuk ke gendang telinganya. Banyak mulut yang melontarkan kalimat, tapi Yova tak dapat mendengar dengan jelas.
Berhasil! Obat yang ia cari sedari tadi akhirnya berhasil ia raih. Dengan cepat Yova menegak tiga pil obat yang selalu ia bawa ke mana-mana.
Efek obat bekerja. Dengan efek sampingnya yang perlahan mengmapiri Yova. Ia sedikit tenang, tapi kepalanya yang menjadi pening hingga ia sedikit menahan lebih keras untuk tetap sadar.
"Yova! Ban sepeda lo abis gue kempisin!" teriak Aldan yang jarinya memegang pèntil ban Yova.
"Hayoloh, entar lo mau pulang pake apa, Yov?" sahut Fahmi yang mengekor Aldan. Mereka berdua berhenti di depan kelas Yova.
Jelas mereka saat ini menjadi pusat perhatian siswa di kelas Yova. Tak ada yang tidak menertawakan Yova setelah Fahmi dan Aldan hadir.
Yova yang masih dalam pengaruh obatnya, tak begitu memperdulikan. Ia mampu mendengar suara Aldan dan Fahmi, tapi ia tak mampu untuk menjawabnya dengan benar.
Merasa tak mendapat jawaban, Fahmi dan Aldan menghampiri meja Yova yang berada paling belakang. Aldan berhasil berdiri tepat di depan meja Yova dan Fahmi menyandar di meja samping Yova.
"Lo nanti pulang pake apa, Yov? Lo mau jalan kaki dengan sepeda butut lo?" ejek Aldan yang memainkan pèntil ban milik Yova.
"Gue tadi cuman makan mie ayam," jawab Yova ngawur karena delusinya masih sedikit menyerangnya
Sontak seisi kelas tertawa mendengar jawaban Yova yang tak sesuai dengan pertanyaan yang dilontarkan Aldan.
"Eh, Yov. Tadi lo bilang enggak makan ayam," sambung Fahmi yang bertujuan memancing Yova agar semakin ngawur.
"Iya. Kucing emang punya empat kaki," balas Yova yang masih ngawur dengan suaranya yang semakin lemas.
Lagi-lagi satu kelas tertawa mendengar kalimat yang lolos dari lisan Yova. Yova semakin pusing. Aldan dan Fahmi tak peduli akan hal itu. Kenapa mereka semua menganggap ini hal lucu? Padalah Yova sedang berjuang mengalahkan penyakitnya.
"Loh kat-" Kalimat Aldan tak selesai. Bel masuk menyelamatkan Yova. Semua siswa bergegas kembali ke bangkunya masing-masing. Begitu juga dengan Aldan dan Fahmi yang kembali ke kelasnya.
Sebelum kembali, Aldan meletakkan pèntil ban sepeda milik Yova ke saku Yova. Lalu ia berlari kecil mengikuti langkah Fahmi.
-×-
"Eh wait, kok kempis?"
Yova yang masih merasakan sedikit pusing dan lemas, ingin teriak saat itu juga ketika mengetahui ban sepedanya kempis.
"Ck! Siapa sih! Aldan dan Fahmi, sih, ini!" Yova langsung berpikir kalau Aldan dan Fahmi adalah pelakunya.
"Kok gue enggak inget apa-apa, sih tadi? Mana gue masih pusing," keluh Yova yang tubuhnya masih terasa lemas.
Banyak siswa yang menatapnya penuh arti. Karena sedari tadi dirinya terus bermonolog tampa henti melihat sepedanya bermasalah.
"Terus sekarang gue jalan, gitu?" tanya Yova pada dirinya. Em ... untuk saat ini Yova memang terlihat seperti orang gila. Namun, dia tidak gila!
"Hai Yova!"
"Damn! Lo berdua, ya yang kempisin ban gue!" tuduh Yova dengan tegas.
"Oh tentu!" balas Aldan sembari membuka helmnya dan mematikan mesin motornya.
"Berengsek lo!" umpat Yova dengan penuh emosi.
"Kalem-kalem. 'Kan lo bisa jalan kaki dengan sepeda butut, lo." Kalimat yang membut Yova sangat naik pitam. Fahmi mengucapkannya dengan santai yang kakinya menurunkan standar motornya lalu melepas helmnya.
"Lo enggak punya perasaan, ya?" lirih Yova yang masih mampu didengar Fahmi dan Aldan.
"Oh tentu punya, sayangnya gue enggak ada perasan buat lo," jawab Aldan santai.
"Gue enggak minta lo ada perasaan sama gue, gue cuman minta lo berhenti ngelakuin hal bodoh ke gue!" tegas Yova yang langsung menuntun sepedanya pergi dari parkiran sekolah.
Fahmi dan Aldan saling adu tatap. Keduanya seakan menang ketika Yova marah akibat ulah mereka. Fahmi dan Aldan kembali menancap gas motornya dan berjalan pelan menghampiri Yova yang berjalan lesu.
Yova berharap bertemu dengan tukang penambal ban agar membantunya mengisi angin bannya yang kempis.
Yova sudah berada di luar lingkungan sekolah dengan Fahmi dan Aldan yang terus mengekor. Ia sadar dirinya diikuti dan berusaha se-normal mungkin agar keduanya tidak kembali berulah.
Langkah Yova berhenti. Ia mengambil nafas cukup dalam dan menoleh ke arah Fahmi dan Aldan. Tatapan elang tersaji untuk Fahmi dan Aldan.
"Aduh-aduh, Yova. Kenapa berhenti? Capek, ya?" Fahmi membuka suara ketika tatapan seram dari Yova tertuju padanya.
"Makanya naik motor atau mobil, dong. Biar enggak kempis bannya!"
Tawa mereka pecah setelah meledek Yova yang tak punya salah pada mereka. Namun, entah mengapa mereka begitu suka menganggunya.
Yova tak berminat untuk menjawab. Meski hatinya begitu sakit mendapat hinaan seperti itu, tapi apakah salah bersekolah mengendarai sepeda?
"Capek 'kan, Yov? Mau nebeng gue?" tawar Aldan yang jelas tujuannya untuk mengejek Yova.
Yova tak menghiraukan, ia kembali berjalan dengan setia menuntun sepedanya. Berharap Aldan dan Fahmi meninggalkannya. Karena Yova cukup lelah untuk hari ini.
"Udahlah, Yov. Bensin gue habis ngikuti lo. Hati-hati, entar sepeda lo bisa kebelah jadi dua," pamit Aldan yang menancap gas tak santai tepat di depan Yova.
"Gue udah telat janjian sama cewek gue. Awas lo entar ban lo copot lagi, ups!" Giliran Fahmi yang mengejek Yova tak punya hati.
Yova hanga menatap sinis dan berusaha tak memperdulikannga. Ketika keduanya sudah sangat jauh, Yova sedikit lega.
"Damn! Untung gue sabar. Coba kalau enggak. Gue lapor ke kepala sekola kali, ya!" umpat Yova menghentakkan kakinya meluapkan amarahnya.
"Kalau gue beneran jalan sampai rumah, bisa-bisa sampai tengah malem, nih," keluhnya melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangannya.
"Telepon papa? Mama?" Terlintas di otaknya untuk meminta bantuan orang tuanya. Namun niatnya urung ketika ia melihat tukang penambal ban di seberang jalan.
"Sip!" Dengan cekatan, Yova menyebrangi jalan untuk mengisi angin ban sepedanya.
-×-
"Sip. Makasih ya, Pak!" seru Yova setelah memberikan selembar uang.
Ban sepedanya kembali seperti semula dengan pèntil yang diberikan tukang penambal ban tersebut ketika mengetahui pèntilnga hilang.
Yova menyebrangi jalan lagi untuk mengayuh kencang sepedanya menuju arah pulang. Akan ada cerita menarik untuk mama dan papanya malam ini.
-×-
Thank you for reading!
See you on the next time!
don't forget to follow me on instagram @aissagustiin
babai!♡
KAMU SEDANG MEMBACA
Medicine for Life
Novela Juvenil{SEBELUM BACA PASTIKAN ANDA SUDAH FOLLOW AKUN SAYA!} Siapa yang bilang dia gila? Dia tidak gila. Hanya stigma buruk yang tertuju padanya dan membuat kondisinya semakin memburuk. Gadis remaja yang hanya menginginkan hidup normal layaknya teman lainny...