"Kehidupan keras. Susah mencari sahabat yang benar-benar tulus."
-×-Di depan kelas kosong yang jarang dijamah Aldan membawa Yova. Terus merangkulnya hingga Yova terduduk di lantai.
"Udah, ada gue di sini. Sorry, ya." Aldan duduk di depan Yova yang masih panik.
Tangannya terulur mengusap air mata Yova yang membasahi pipinya. "Ini bukan salah lo, kok."
Yova sangat panik. Denyut nadinya serasa berhenti. Tak bisa berucap apapun.
Aldan membiarkannya, memberi waktu Yova untuk sedikit tenang. Ia tahu, Yova sering mengalami panik seperti waktu ia jatuh di depan kompleknya.
Aldan menatap lemat Yova yang duduk dengan memeluk erat kakinya. "Lo mau minum?" tawar Aldan setelah beberapa waktu terjadi keheningan.
Jelas Yova tak menjawab. Aldan ragu meninggalkan Yova untuk membeli air. Namun, Yova juga membutuhkannya.
Keberuntungan berpihak pada Yova. Dua siswa lewat di belokan kelas kosong tempatnya duduk.
"He, beliin gue air putih, dong," pinta Aldan berdiri dan menghampiri kedua siswi itu.
"Nah ini aja buat gue. Lo beli lagi. Nih." Aldan menyahut air mineral yang masih tersegel dan menyerahkan sejumlah uang untuk menggantinya.
Tak ada balasan dari kedua siswi itu. Mereka langsung pergi meninggalkan Aldan.
Aldan kembali menghampiri Yova yang lebih sedikit tenang. "Nih, lo minum dulu," titah Aldan membukakan botol untuk Yova.
Yova melihat botol tersebut lalu melirik sekilas Aldan. "Nih," kata Aldan lagi.
Pelan-pelan Yova menerima air tersebut. Menenggaknya pelan hingga tersisa setengah.
Yova kembali menyerahkan pada Aldan. Tangan Aldan kembali menutup botol tersebut. "Sorry, ya."
Yova kembali diam. Aldan paham, Yova masih panik akibat kejadian di kantin. Ia tak memaksa Yova untuk meresponsnya. Aldan memilih memberi waktu Yova untuk menenangkan diri.
Aldan mengambil tempat di kiri Yova. Bersandar dan menatap langit teras kelas. Mengepalkan tangan kanannya dan memandangnya.
"Bukan salah gue, lo yang mulai," lirih Aldan mengingat kalau tangannya telah memukul Fahmi, sahabatnya sendiri.
Ia kembali menatap langit teras, membuang napas kasar dan perlahan memejamkan matamya untuk mengurangi rasa peningnya.
Cukup lama Aldan dan Yova duduk di depan kelas kosong. Hingga akhirnya Yova sudah tenang. Menoleh ke arah Aldan yang terlelap dengan posisi duduk.
"Astaga, gue tadi?" lirih Yova mengingat kejadian yang membuatnya panic attack.
"Al?" panggil Yova pelan.
Posisi mereka tak jauh. Yova menoleh ke arah Aldan. Netranya menangkap wajah lelah Aldan. Kembali ia memanggilnya, "Aldan."
Perlahan si empu pemilik nama terusik ketika namanya dipanggil.
"Eung .... Eh, Yov. Sorry-sorry. Lo enggak kenapa-kenapa, 'kan?" tanya Aldan menghadapkan tubuhnya pada Yova.
KAMU SEDANG MEMBACA
Medicine for Life
Roman pour Adolescents{SEBELUM BACA PASTIKAN ANDA SUDAH FOLLOW AKUN SAYA!} Siapa yang bilang dia gila? Dia tidak gila. Hanya stigma buruk yang tertuju padanya dan membuat kondisinya semakin memburuk. Gadis remaja yang hanya menginginkan hidup normal layaknya teman lainny...