• Chapt 13 - Kubu Bunda

57 14 9
                                    

"Waktu dan jarak akan menyingkap rahasia besarnya, apakah rasa suka itu semakin besar, atau semakin memudar."
~Tere Liye~
-×-

"Udah, sekarang Bunda mau ke mana?" tanya Aldan.

Ketiganya selesai-dapat dibilang makan siang karena perjalanan dari rumah ke mall cukup lama-makan siang di salah satu west restauran.

"Ya udah ayo ke transm*rt," ajak Rena.

Harry mengangkat bahunya tak acuh ketika Rena mulai melangkahkan kakinya meninggalkan Aldan dan dirinya.

"Bun, Bunda cuman beli mentega sama gula. Kalau lebih, Papa yang bayar," kata Aldan menyamakan langkahnya dengan Rena tepat si sebelah kanannya.

"Ya ampun. Bunda bercanda, Abang," balas Rena dengan mengelus pipi kiri Aldan dengan tangan kanannya.

Abang adalah panggilan sayang dari Rena dan Harry untuk Aldan yang memang anak tunggal. Sebenarnya mereka ingin memiliki keturunan lagi, tapi melihat Aldan seperti ini, mereka kembali memikirkannya lagi.

"Tapi Al udah janji, jadi harus ditepati," sambung Aldan.

"Heh! Kok malah mesrah-mesrahan," tandas Harry yang menyusul keduanya.

"Menjauh, Bun!" Aldan merangkul Rena dan sedikit membawanya bergeser menghindari Harry.

"Kamu anak siapa, sih?" tanya Harry pelan ketika posisi mereka kembali sejajar.

"Kok tanya ke Al? Setahu Aldan ya, anak kalianlah!" balas Aldan.

Sungguh aneh jika kenyataannya Aldan anak seorang penjual pecel lele depan komplek mereka.

"Padahal Papa sekeren ini. Masa iya anaknya kayak kamu," sindir Harry yang membenarkan jaketnya berlagak keren.

"Enak aja. Aldan ini keren, Pa. Di sekolah itu dikejar mulu sama cewek-cewek," jelas Aldan sombong.

"Mereka lihat kamu dari apanya, Al?" lanjut Rena yang melirik sekilas ke arah Aldan.

"Loh? 'Kan Aldan ganteng," puji Aldan pada dirinya sendiri.

"Ah mereka salah lihat kali," elak Rena tak terima jika Aldan diakui tampan.

"Berarti Bunda juga salah lihat," balas Aldan.

"Salah lihat siapa?" tanya Rena bingung.

"Salah lihat Papa." Aldan melirik Harry sekilas lalu berganti menatap Rena.

"Kok bisa?" heran Rena pada putra tunggalnya.

"Ya bisalah. Aldan 'kan keturunan Papa. Kalau Aldan enggak ganteng, berarti Papa juga dong?" jelas Aldan menahan tawanya memandang Harry yang geram padanya.

Rena memukul pelan pundak Aldan sembari tertawa ringan dan diikuti Aldan melanjutkan kalimatnya, "Berari Bunda salah lihat, ya? Papa biasa aja, tapi tetep Bunda pilih."

"Kalau Papa biasa aja, Bunda kamu juga enggak doyan," timpal Harry membanggkan diri.

"Terpaksa, sih," lirih Rena yang masi mampu didengar Harry dan Aldan.

Medicine for LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang