"Entah mengapa hal kecil itu sedikit memberi ketenangan."
-×-"Iya, Papa tahu. Makanya ayo masuk, ya?" Rajen menuntun putrinya yang kembali mengalami delusi untuk ia antar ke kamar dan meminumkan obat agar menjadi sedikit tenang.
"Ihhh! Enggak mau! Kamu 'kan prajuritnya semut raksasa!" geram Yova memandang Rajen layaknya prajurit kerajaan.
"Iya, jadi kamu harus diamankan ke tempat yang aman, ya?" Rajen tak berhenti membujuk dan menenangkan putrinya agar ia mau untuk sedikit ditenangkan dengan obatnya.
"Awas ya! Awas kamu bawa aku ke raja semut!" ancam Yova dengan sedikit ketakutan. Jelas dia masih dalam delusinya yang berada di negeri semut.
"Enggak kok. Ayo masuk dulu, ya." Mereka sudah sampai di kamar Yova. Rajen terus menuntun putrinya untuk duduk di kasurnya dan menyalakan pendingin ruangan agar tak begitu pengap di dalam.
Yova sudah duduk dengan sedikit tenang. Namun, logat tubuhnya masih menunjukkan kalau dia masih dalam delusinya.
Rajen yang baru saja pulang dari kantor lebih awal, dikejutkan dengan putrinya yang mengalami kambuh dalam delusi. Sudah menjadi kewajibannya untuk membantu menenangkannya.
"Papa?" panggil Sherin mengetuk pelan pintu kamar Yova.
"Iya Ma," jawabnya pelan.
"Udah rada tenang, tapi tetep minumin obatnya. Tadi kayaknya dia belum minum obat," pesan Rajen yang sangat paham tentang kondisi putrinya.
"Iya. Tadi pulang juga udah uring-uringan. Mau Mama suruh minum obat, keburu dia bilang ada raja semut," jelas Sherin menceritakan kejadian awal putrinya kambuh dalam delusinya.
Sherin menghampiri Yova dengan tenang. Ia menyuapkan pil obat pada Yova. Tak ada penolakan, Yova meminumnya dengan tenang. Sherin menuntunnya untuk merebahkan tubuhnya dan tidur agar kondisinya cepat membaik.
-×-
"Mama, Papa," panggil Yova lesu. Ia berjalan seakan tanpa tenaga menghampiri orang tuanya di ruang keluarga
"Masih pusing? Sini, Sayang," sambut Sherin merentangkan tangannya dan memberi tempat untuk Yova duduk di antaranya dan Rajen.
"Mau makan apa, Yova? Mau makan ke luar, enggak?" tawar Rajen yang menginginkan anaknya membaik dengan melihat suasana luar.
"Mau beli baju aja, Pa," rengek Yova yang masih mengingat keinginannya kemarin.
"Habis makan, kita beli baju!" seru Rajen menyalurkan energi positif.
"Beneran, ya? Awas Papa bohong. Kalau bohong enggak temenan sama Mama dan Yova!" ancam Yova agar ia mendapat yang ia inginkan.
"Iya. Cepet siap-siap!" pinta Rajen.
Yova kembali berdiri lalu melangkahkan kakinya menuju kamar untuk mengganti pakaiannya yang masih mengenakan seragam sembari berteriak, "OKE!"
Ia senang sekali ketika papanya mengatakan akan membelikannya baju.
-×-
"Aldaaaannn!" Teriakan yang nyaring tertuju pada Aldan yang asyik bermain PS di kamarnya.
Aldan meletakkan stik PS-nya berlari memenui panggilan yang sepertinya akan ada kemarahan besar padanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Medicine for Life
Teen Fiction{SEBELUM BACA PASTIKAN ANDA SUDAH FOLLOW AKUN SAYA!} Siapa yang bilang dia gila? Dia tidak gila. Hanya stigma buruk yang tertuju padanya dan membuat kondisinya semakin memburuk. Gadis remaja yang hanya menginginkan hidup normal layaknya teman lainny...