Bagian 17

1.9K 224 14
                                    

Bagi Jaehyun, musim dingin kali ini adalah musim yang paling membekukan daripada musim-musim dingin yang lalu. Bukan karena pakaian sutra miliknya yang harus dilepas paksa dan menyisakan pakaian tipis untuk menjadi satu-satunya penghangat di tubuhnya, tetapi tentang bagaimana nasib buruk harus runtuh begitu saja diatas kepalanya dengan tiba-tiba.

Dari balik kurungan jeruji, keadaan istana saat ini terdengar sepi. Hela nafasnya sendiri adalah satu-satunya hal yang bisa Jaehyun dengar disini, seolah-olah hanya dirinya seorang yang tidak pantas untuk mendengarkan hiruk pikuk kebisingan di dunia ini. Jaehyun berdesis pilu. Punggungnya yang terluka akibat cambukan terasa begitu perih. Ia yakin butuh waktu yang cukup lama untuk benar-benar membuatnya pulih.

"Yang mulia.."

Park Jisung, seperti biasa, akan selalu bisa muncul tanpa membuat satu orang pun tahu atas keberadaannya.

Jaehyun tersenyum tipis dengan bibirnya yang terlihat kering. Tubuhnya tak cukup kuat untuk bisa menyambut kemunculan Jisung kali ini.

"Aku terlihat memalukan," miris Jaehyun dengan tawa hambar yang menyakitkan. Pangeran itu mencoba membersihkan jejak-jejak darah di pakaiannya walaupun sia-sia.

Tubuh tinggi Jisung yang menjulang di hadapannya kini seolah menjadi tembok pengaduan. Air mata yang bahkan tidak menetes saat pedihnya cambuk mengenai punggungnya pun akhirnya tumpah.

Jaehyun sebelumnya tidak pernah merasa serendah ini.

Meskipun ia terlahir dari rahim seorang selir dan keberadaannya selama ini hanya seperti bayangan dari putra mahkota. Tidak sedikit pun ia merasa buruk karena Jaehyun juga menghormati dan menyayangi adiknya itu.

"Ada seorang gadis," dengan pelan Jisung akhirnya bersuara. "Aku yakin tidak salah melihat karena selain mendiang putri Jang, ada satu gadis lain yang menempati paviliun istana."

Keremangan ditempat ini semakin terasa melingkupi. Dinginnya musim salju yang menembus kulit mereka seolah tak jadi hal penting untuk dipikirkan. Jaehyun lantas mencoba bangkit, dengan sedikit gemetar tubuhnya yang lemah lalu bertumpu pada jeruji. "Baek Yun Hee..." lirihnya pelan.

Tentu saja. Buah tidak akan pernah jatuh, jauh dari pohonnya. Gadis itu dan ayahnya yang tamak, bagaimana mungkin Jaehyun bisa melewatkan mereka?

"Selama pengasingan ini, kau harus terus mengawal putra mahkota," binar di mata keturunan raja itu tidak membara seperti biasanya. Dan dalam keremangan Jaehyun berharap Jisung dapat mengerti.

Sang pendekar Park hanya dapat menunduk. Raut wajahnya yang selalu dingin membuat Jaehyun tidak pernah bisa menebak apapun isi pikiran pemuda yang lebih muda darinya itu.

"Hutang budi yang kupunya hanyalah pada anda, Yang Mulia. Bukan pada Putra Mahkota" jawab Jisung tenang. "Jika anda harus pergi dari istana ini, maka aku harus tetap menemani anda hingga akhir."

Jaehyun menggeleng tak terima. Tangannya yang kotor terulur keluar dari celah jeruji dan mengetuk-ngetuk dada bidang Jisung dengan telunjuknya. "Kau harus tetap menjaga adikku seperti aku menjaga adikmu, Park Jisung," Jaehyun berucap dengan tegas.

"Bagaimana pun, kepada langit kau telah bersumpah atas Park Taeyong untuk pengabdianmu kepadaku."

"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
A Flower's Letter; ╰Noren╮Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang