Bagian 8.5

3.3K 507 27
                                    

Seorang gadis dengan jeogori biru tampak sedang mempoles wajahnya. Rambut indahnya yang panjang juga terjalin rapi dengan daenggi yang menghias.

Senyum manis milik gadis itu lantas terkembang, setelah melihat wajah cantiknya pada kaca rias. Merapikan sedikit letak norigae yang menggantung di pakaiannya dan bergerak bangkit untuk meninggalkan kamar pribadinya.

Saat pintu geser itu dibuka, gadis itu langsung dihadapkan dengan dua orang pelayan yang telah menunggu dan membungkuk hormat padanya.

"Hari ini kita akan ke pasar. Aku ingin membeli beberapa dwikkoji."

"Ye, Agasshi."

Mata cerah milik gadis itu menatap puas pada dua pelayannya yang menyahut mengerti, lalu menutup kepalanya dengan jangot dan berjalan dengan anggun yang kemudian disusul oleh kedua pelayannya.

Kondisi pasar saat ini tampak sama seperti biasa. Terlihat para kaum bangsawan yang membeli dagangan yang dijejalkan, dan rakyat-rakyat jelata yang hanya bisa menatap penuh harap pada barang dan makanan-makanan itu.

Gadis cantik itu tersenyum tipis, melihat bagaimana nelangsanya wajah-wajah kaum miskin yang mengiba untuk dikasihani. Dan tiba-tiba langkah kakinya dengan terpaksa harus terhenti ketika seorang wanita tanpa sengaja jatuh tersungkur dihadapannya, membuat ujung chima ungunya menjadi kotor karena debu.

Wanita itu dengan cepat memungut kembali sayur-sayurannya yang telah berserakan. Membungkuk penuh penyesalan pada gadis dihadapannya, sebelum matanya membelalak saat sudah melihat rupa gadis itu.

Sayur-sayuran milik si wanita yang telah terkumpul pun kembali jatuh berserakan.

"Y-yang mulia," Renjun mencicit pelan ketika sang Putra Mahkota masih erat menggenggam tangannya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Y-yang mulia," Renjun mencicit pelan ketika sang Putra Mahkota masih erat menggenggam tangannya.

Saat ini mereka sedang berada di luar istana. Dengan menggunakan durumagi khas bangsawan biasa, mereka berlari untuk menuju pasar.

Kabur, lebih tepatnya.

Ini semua adalah satu dari seribu keinginan aneh milik Putra Mahkota yang tiba-tiba saja menginginkan untuk melihat festival lampion yang diselenggarakan di pasar. Festival lampion adalah acara yang memang sengaja dilaksanakan di setiap akhir musim gugur untuk menyambut datangnya musim dingin. Rakyat akan saling berpesta dengan menerbangkan banyak lampion sebagai simbol agar segala kesusahan dan kesialan yang terjadi di musim gugur turut terbang ke udara.

Sebenarnya, terbangnya lampion-lampion itu juga bisa dinikmati di istana. Tapi memang Jeno saja yang selalu bertingkah macam-macam sehingga ia mengeluarkan titah pada Renjun untuk pergi menemaninya.

Renjun sedikit memperbaiki gat nya yang miring karena berlari, sementara sang Putra Mahkota bahkan tak menampilkan sedikit kesadaran pada Renjun yang sudah terseret dibelakangnya.

Malahan, tangannya semakin menggenggam erat tangan Renjun agar pegangan pemuda itu tidak terlepas darinya.

"Yang Mulia!" Renjun memekik, membuat Jeno menghentikan langkahnya dan menatap bingung pada Renjun yang telah tersengal-sengal.

Bibir Renjun mencebik, ia melepaskan genggaman pewaris kerajaan itu dengan wajah yang menahan kesal. "Anda terlalu terburu-buru," dengus Renjun. Ia masih mencoba menenangkan nafasnya karena telah berlari mengikuti langkah lebar milik sang Putra Mahkota.

Jeno sudah akan mengeluarkan protesannya sebelum sebuah keributan terdengar.

Disana, tak jauh dari mereka, ada seorang gadis yang sudah menampar keras wajah seorang wanita yang saat ini ditahan oleh kedua pelayannya.

"Sungguh lancang mengeluarkan ekspresi itu padaku!" pekik gadis itu penuh amarah. Tangannya sudah terangkat untuk kembali memberi tamparan sebelum Jeno menggenggam pergelangannya. Menahan tangan itu untuk tetap di udara, dengan tatapan tajam yang tertuju pada wajah si gadis yang kini membelalak.

"Berbuat kekasaran pada kasta dibawahmu tidak membuat dirimu semakin tinggi, Agasshi." Ucap Jeno datar.

Melihat nona mereka yang telah di tegur oleh seorang bangsawan, membuat kedua pelayan itu melepaskan wanita yang telah menjadi korban kekerasan majikan mereka.

Renjun yang melihat wanita itu akan jatuh, langsung menahan tubuhnya untuk bisa tetap berdiri. "Anda baik-baik saja?" Renjun bertanya pelan, rautnya menampilkan rasa cemas yang kentara saat melihat bekas telapak tangan yang memerah di pipi wanita itu.

Si wanita berkedip pelan, ia lantas menatap pada Renjun dengan mata yang kembali membelalak.

"Tanganmu.." lirihnya sembari menggenggam pergelangan tangan Renjun. "Perlihatkan pergelangan tanganmu." Ucapnya lagi.

Renjun mengernyit, namun tetap menyingkap lengan durumagi nya hingga kini pergelangan tangannya dapat terlihat oleh wanita itu.

Disana, ada tiga tanda yang membentuk titik segitiga, dimana si wanita membawa tangannya mengelus pelan ketiga titik itu. Ia kembali menatap pada wajah bingung Renjun dengan pancaran mata yang penuh makna. 

'Sang bintang.'

Lalu beralih menatap pada si gadis.

'Bayangan bulan.'

Berakhir menatap pada Jeno yang juga menatapnya dengan kebingungan.

'Dan, sang phoenix.'







Si wanita menutup kedua matanya dengan tangan yang mengepal, jangan lupakan dadanya yang saat ini berdegup takut.

'Sebentar lagi... Sebentar lagi, kematian akan tersebar di sudut kerajaan.'





























______________________________________

Yehettt, tokoh penting udah keluar

Oh iya, jika kalian baca lagi, part ini dengan part 5.5 punya benang merahnya 🧐

Dan sesuai dgn yg kubilang di chap sebelumnya, setiap part (.5) adalah spesial chapter yg punya 'clue'.

A Flower's Letter; ╰Noren╮Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang