Bagian 9

3.1K 491 28
                                    

Langkah kaki Putra Mahkota berbelok menuju kesalah satu perkampungan yang berada tak jauh dari pasar. Saat ini penerus kerajaan itu hanya sedang mengikuti Renjun yang berada didepannya. "Bukankah festivalnya berada disana?" Jeno bertanya heran pada pemuda itu dan menunjuk arah yang berlawanan dengan tujuan mereka saat ini.

Renjun berhenti dan menatap calon rajanya dengan mata yang menyipit.

"Selagi kita berada disini, ada sesuatu yang akan saya perlihatkan pada anda, Yang Mulia."

Pemuda Huang itu lalu melanjutkan langkah yang mau tak mau membuat Jeno kembali mengikutinya meskipun dengan kening yang berkerut.

Mereka lalu berhenti. Suatu perkampungan kumuh telah terlihat di pelupuk mata. Disana, banyak sekali orang-orang yang memiliki kondisi memprihatinkan. Anak-anak dan orang dewasa memakai pakaian yang kotor, dan juga ada beberapa yang terlihat sedang memakan buah yang telah membusuk. Asap-asap pembakaran dari dedaunan kering juga mengepul untuk bisa mengusir rasa dingin akhir musim gugur yang mulai menusuk tulang dibalik pakaian-pakaian tipis mereka.

Jeno terpaku. Netra gelapnya dengan bergetar menatap pada Renjun yang sedang tersenyum meladeni anak-anak kecil yang saat ini memohon untuk diberi makan.

Renjun menjangkau sebuah kantong yang terselip di dalam durumagi nya. Mengeluarkan beberapa keping uang dan memberikan anak-anak itu satu keping tiap per orangnya yang menghasilkan senyuman cerah sebagai ucapan terimakasih. Anak-anak itu kemudian berlari dan berteriak kesenangan dengan sekeping uang logam ditangan.

"Bagi mereka, bisa mendapatkan satu mun sama rasanya seperti mendapatkan seluruh isi bumi." Suara Renjun terdengar parau beriringan dengan hembusan angin musim gugur.

Jeno menatap kosong pada rumah-rumah penduduk dihadapannya. Menyadari jika hanya susunan jerami lah yang menjadi satu-satunya benda berharga disana.

"Kelak, saat anda telah menjadi raja, saya harap anda bisa menjadi satu keping mun yang menjadi penyelamat di keputusasaan mereka."

"Yang mulia..." mata berbinar Renjun kali ini menatap pada Jeno dengan sinar pengharapan yang terpancar disana. "Mendapatkan hati dan dukungan rakyat tidaklah sulit, jika anda bersifat rendah hati dan adil kepada mereka."

Chenle bersenandung riang saat penjaga gerbang istana telah mengijinkannya masuk

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Chenle bersenandung riang saat penjaga gerbang istana telah mengijinkannya masuk. Kaki yang terbalut heukhye hitam itu melangkah ringan menuju kediaman baru sang kakak. Ditangannya, telah ada sebuah kotak yang terbungkus kain berisi beberapa buah kesemek kering kesukaan Renjun.

Langkah Chenle memelan ketika seorang pemuda berbadan tinggi menghalanginya yang sudah akan menyebrangi jembatan untuk menuju pavilliun. Keningnya berkerut, saat wajah datar pemuda itu bergerak, seperti menelisik sesuatu dari tubuhnya.

"Siapapun tidak diperkenankan memasuki pavilliun daiji tanpa izin dari Putra Mahkota."

Suara pemuda itu terdengar dalam dan berat. Mata sipitnya menatap tajam pada Chenle dan kotak yang ia bawa.

A Flower's Letter; ╰Noren╮Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang