Bagian 2

6.1K 887 63
                                    

Chenle dengan antusias bergerak kesana-kemari memperhatikan seluruh isi ruangan kesastraan. Bahkan buku-buku antik yang selalu diceritakan ayahnya tersimpan rapi disini. "Hyung, Lihat! Lihat!" menyeret Renjun yang baru saja memasuki ruangan dan menunjukkan harta karun yang baru saja ditemui nya. "Kau tidak akan kekurangan literasi apapun disini!" girangnya.

Renjun tertawa melihat antusias tinggi yang ditunjukkan adiknya. Namun...

"Chenle, apakah harus kutolak saja?"

Chenle berhenti dari kegiatannya dan menggeleng dengan kecepatan yang berlebihan. Renjun sampai takut jika kepala adiknya itu bisa lepas kapan saja. "Tidak boleh Hyung!" pekiknya. "Ini adalah permintaan Raja, bagaimana bisa kau menolaknya!? Itu sama saja Hyung tidak menaati dewa."

"Tapi-" ucapannya terpotong ketika tiba-tiba saja Chenle menutup mulut nya.

"Aku tidak apa-apa Hyung. Aku bisa menunggumu dirumah, jadi pastikan kau pulang setiap pekan ne?"

Renjun tertegun, hatinya terasa dicubit oleh sesuatu.

Sudah sejak kapan adiknya tumbuh menjadi dewasa seperti ini?

Renjun tersenyum bangga tanpa sadar.

"Hyung akan pastikan bisa sering pulang agar kau tidak kesepian," ucapnya sembari memeluk pemuda yang lebih muda. Chenle dengan senang hati menerima pelukan itu dan membalasnya tak kalah erat. "Masa depan Joseon ada dipundakmu Hyung...

....pastikan kau mengajari putra mahkota dengan baik," lirihnya.

Suara dua pedang yang beradu mengisi kebisingan di siang yang terik ini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Suara dua pedang yang beradu mengisi kebisingan di siang yang terik ini. Dua pemuda dengan bulir keringat yang mengalir di pelipis masing-masing adalah pemandangan lazim yang dilihat para kasim dan para dayang di istana.

Mereka tetap saling mengayunkan pedang pada satu sama lain. Tak perduli terik matahari yang membakar di atas kepala atau bahkan melupakan bahwa belum ada satupun dari mereka yang telah menuntaskan lapar dan dahaga.

Hingga salah satu pedang terlepas dari genggaman sebagai tanda permainan telah selesai.

Para dayang dan kasim bertepuk tangan, mereka sudah dapat menebak siapa pemenangnya.

"Jika begini, kau mungkin akan bisa menjadi Jendral dalam beberapa minggu lagi," ujar seorang pemuda. Mengambil pedangnya yang telah terpelanting jauh dan memukul bangga pundak pemuda lain yang telah mengalahkannya.

Kekehan pelan terdengar, "Daripada bermain pedang, bukankah anda seharusnya belajar menguasai ilmu pengetahuan, Putra Mahkota?" godanya.

Menertawakan ekspresi yang dikeluarkan sang Putra Mahkota, karena ia tahu betul belajar adalah hal yang paling calon rajanya itu benci.

"Berhenti memanggilku seperti itu Jaemin-ah, sudah kubilang panggil Jeno saja" sewotnya. "Lagi pula siapa yang tidak bosan jika diajarkan oleh guru yang sudah tua. Aku bahkan tidak bisa mengingat nama guru itu karna selalu tertidur."

A Flower's Letter; ╰Noren╮Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang