Semilir angin musim gugur menemani langkah kaki Jaehyun yang menuju ke pavilliun Nancho –kediaman sang ibunda yang terletak di sebelah barat kediaman Raja.
Keberadaannya di sambut oleh para dayang yang memang setia berjaga disana. Gun Wangja itu bergerak masuk setelah kepala dayang memberitahukan kedatangannya.
Senyumnya terpoles ketika melihat sang ibunda sedang terlihat sibuk dengan sulamannya.
"Baru saja kau kembali dari Gangwon, dan sekarang sudah berjalan hingga ke pavilliun barat. Tidakkah kau lelah Gun Wangja?" goda Chae A-Young dengan tawa lembut pada anaknya.
Senyuman diwajah Jaehyun semakin lebar, "Aku sebenarnya akan menemui Abamama, tapi sepertinya putra mahkota lebih memiliki kepentingan. Jadinya aku mampir untuk mengunjungi eommoni."
Chae A-Young meletakkan peralatan menyulamnya dan memandang Jaehyun dengan tatapan khawatir. "Apa terjadi sesuatu dengan Putra Mahkota?" tanyanya panik.
Jaehyun menggeleng, tertawa pelan saat melihat rasa khawatir ibunya yang tidak pernah berkurang untuk Sang Putra Mahkota bahkan sejak dulu.
"Putra Mahkota terlihat sehat ketika aku melihatnya. Jadi eommoni tidak perlu cemas berlebihan seperti ini." ucap Jaehyun diiringi dengan gelak pelan saat melihat ibunya yang menghela nafas lega.
Jemari lentik milik sang ibu terbuka, memberi tanda kepada Jaehyun untuk bergerak mendekat.
Setelah Jaehyun telah berada dihadapannya, Chae A-Young pun menggenggam tangan putranya dengan penuh kasih. "Jaehyun.... menjadi yang tertua mungkin berat untukmu. Tapi selalu ingat, bagaimana kau berjanji untuk tetap menjaga putra mahkota. Bahkan jika lahar membakar bumi, kau lah yang harus berkorban atas dirinya."
"Maaf eommoni hanya bisa memberikan cinta kasih ini kepadamu, disaat mungkin kau juga menginginkan apa yang dimiliki Putra Mahkota."
Chae A-Young tersenyum, tangannya saat ini bergerak mengelus punggung tangan putranya dengan sayang. Sementara perkataan dari sang ibunda, hanya bisa dibalas Jaehyun dengan senyuman lemah.
Musim gugur memang selalu membawa keunikannya sendiri. Dedaunan merah dan oranye yang menghiasi separuh permukaan bumi menjadi salah satu hal yang membuat lidah mampu berdecak kagum ketika melihatnya.
Musim keemasan, orang-orang bilang.
Namun dilain sisi, lembar-lembar guguran itu menjadi sebuah pengingat bahwa musim dingin akan segera tiba.
Dimana kaum pria akan menyembunyikan diri didalam guanya, dan wanita akan tenggelam di dasar sumur.
Sebuah umpama dari pepatah tentang betapa sepi dan menyendirinya musim ini.
Huang Renjun berkaca-kaca ketika melihat Chenle yang hanya tersenyum saat ia menceritakan hal yang terjadi padanya di Istana. Bercerita tentang perintah Raja yang menginginkannya untuk mendiami pavilliun Daiji dan tentang kesempatannya untuk pulang yang mungkin saja tidak lagi sama seperti sebelumnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
A Flower's Letter; ╰Noren╮
FanfictionDisaat taktik dan intrik penguasaan istana berjalan seiring dengan kisah cinta milik Sang Putra Mahkota. Jika Lee Jeno telah jatuh cinta, Renjun yang hanya seorang hamba tidak akan bisa apa-apa. _________________________________________ Start : 23...