"Namanya adalah Jang Ae-ri. Putri petinggi Jang dari fraksi utara yang berperan besar di perbatasan."
Jeno hanya mengangguk kosong. Mendengar tanpa minat pada Renjun yang sedari tadi berceloteh tentang riwayat diri calon pendampingnya.
Melihat gelagat tak berminat dari pewaris kerajaan itu membuat Renjun mendesah lelah. Literasi yang ia baca lantas ia tutup, guna bisa memfokuskan diri pada sosok gagah yang saat ini malah dengan santainya menguap.
"Yang Mulia," Renjun menegur pelan. "Bukankah seharusnya anda senang bisa mendapatkan seorang gadis terpandang sebagai pendamping anda nantinya."
Wajah malas Jeno dengan cepat berganti ketika mendengar itu. Matanya yang sudah tajam semakin memandang sengit pada Renjun. "Daripada mengurusi seorang gadis yang bahkan tidak ku kenal wajahnya, lebih baik kau baca saja syair itu."
Jeno membuka kembali literasi yang sebelumnya telah Renjun baca, dan menunjuk asal pada salah satu kalimat yang tertera di dalam sana. "Baca yang keras," titahnya dengan wajah sebal. Jangan lupakan matanya yang melotot ketika Renjun akan mengeluarkan protesan, sehingga mau tak mau guru sastra itu mengikuti keinginan sang calon raja dan membaca bagian kalimat itu dengan kuat dan lantang.
Tanpa adanya pelabuhan tempat bersauh, hanya ada jeritan malang di dalamnya.
Pada jalan yang ditelan kabut, hanya tampak sinar dalam aliran samar. Cahaya yang diam namun tak padam, perlambang apakah yang dibawanya?
Karena sejatinya kehidupan adalah kesusahan.
Dan aku karam tanpa punya siapa-siapa.
Jaehyun menunggu kedatangan seseorang dengan gusar di dalam kediamannya. Keturunan raja itu bahkan belum berganti jubah tidur, pertanda bahwa ia belum bisa untuk segera menjemput mimpi.
Pandangan matanya saat ini tertuju pada pintu yang berdecit sebelum kemunculan seorang pemuda gagah dengan pakaian dan cadar serba hitam terlihat olehnya. Pemuda itu membuka tudung wajahnya dan membungkuk hormat pada Jaehyun.
"Maaf atas keterlambatanku, Yang Mulia." Park Jisung bersimpuh di hadapan Jaehyun yang dengan cepat menyuruhnya kembali bangkit.
"Kemunculanmu saja sudah membuatku tenang, Park Jisung." Ucap Jaehyun. "Seperti yang kau katakan, memang ada sesuatu yang mencurigakan dari menteri Baek dan putrinya."
Jaehyun mengambil lembaran kertas yang sengaja ia simpan didalam gwe yang terletak tak jauh dari mat nya. Pangeran itu lalu menyerahkan lembaran itu pada Jisung yang menatapnya tak mengerti. "Raja telah mengetahui kejahatan korupsi yang dilakukan oleh menteri Baek dan orang-orangnya. Aku menyerahkan semua petisi ini padamu karena entah mengapa, aku merasa sesuatu akan terjadi."
Jisung mengambil lembaran itu dengan tangan yang sedikit bergetar. Ini bukanlah sebuah lembaran kosong tak bermakna. Lembaran ini memiliki arti yang penting untuk kehidupan Joseon.
"Tapi Yang Mulia..." Jisung mencoba menolak permintaan itu karena bagaimana pun, ia hanyalah seorang pendekar yang tidak memiliki apa-apa selain kemampuan berkelahi dan berpedang. Kecerdasan otak pun rasanya Jisung tidak memilikinya.
Lalu apa maksud dari putra sulung raja itu, dengan memintanya menyimpan hal yang sepenting ini?
"Jisung, aku sudah menganggapmu sebagai adikku sendiri... Di istana ini, setiap wajah memiliki topengnya masing-masing, dan aku tidak bisa mempercayai siapapun selain dirimu." Jaehyun menatap Jisung dengan pancaran mata penuh pengharapan.
"Lembar-lembar petisi ini dan juga keselamatan putra mahkota, aku mempercayakan semuanya padamu."
KAMU SEDANG MEMBACA
A Flower's Letter; ╰Noren╮
أدب الهواةDisaat taktik dan intrik penguasaan istana berjalan seiring dengan kisah cinta milik Sang Putra Mahkota. Jika Lee Jeno telah jatuh cinta, Renjun yang hanya seorang hamba tidak akan bisa apa-apa. _________________________________________ Start : 23...