Chapter 19. Terduga Tak Bersalah

64 10 7
                                    

Aswin berdiri di tengah lingkaran manusia yang duduk dengan tanda tanya. Hari ini, ia menggunakan kaos berlambang kepolisian dan celana PDL Blackhawk yang biasa digunakan lapangan. Secara gamblang ia menunjukkan diri sebagai polisi dan meminta semua orang untuk berkumpul pada pukul 9 pagi. Yang tidak hadir dalam 15 menit, digedor pintu kamarnya dan diseret―sekalipun masih menggunakan piyama dan belum sikat gigi.

Aziz, Johan, dan Kiki, adalah tiga orang yang masih menggunakan celana pendek, wajah lesu, dan mulut yang kerap menguap. Mereka berdalih sangat kelelahan dengan aktivitas kemarin dan lirikan sepenuhnya tertuju pada Leo yang terlihat segar bugar mengenakan celana kain hitam, kaos putih, dan jaket bomber warna hitam. Leo membalasnya dengan tatapan seolah mengucapkan: 'Salah kalian. Aku tidak menyuruh kalian ikut serta. Ah, kecuali kau, Aziz'.

"Maksud aku mengumpulkan kalian hari ini, tidak lain karena aku sudah mengetahui pelaku dari pembunuhan dan percobaan pembunuhan di gedung ini," kata Aswin berkata dengan sangat meyakinkan. "Tapi sebelum itu..," tatapannya menajam pada tripod dan kamera DSLR yang menyala merah karena sedang merekam. "Apakah kau memang harus meletakkan kamera di sini? Di hadapanku?"

Semua pasang mata memperhatikan Aziz yang asyik menguap. Kalau dipikir-pikir, pemuda ini juga aneh. Ia adalah salah satu yang harus diseret untuk bangun. Namun, ia masih sempat bergerak cepat untuk memasang tripod dan kamera di luar lingkaran yang bisa menangkap suasana perkumpulan ini.

Aziz yang dipandang; hanya mengucek mata dan menggaruk bawah ketiaknya―benar-benar tidak sadar ia dan pakaiannya saat ini mungkin bisa membuat illfeel gadis yang ia kejar.

"Oh.., hmm.., aku hanya menjalankan tugas yang diminta Pak Mizi," katanya membela diri. Ia kembali duduk di samping Leo yang paling dekat dengan pintu. "Silakan dilanjutkan, Pak. Sekadar kamera tidak akan mengganggu, 'kan?"

Pertanyaan itu dilayangkan sembari menggaruk kepala dan mata mengantuk. Namun, entah kenapa atmosfirnya mampu menekan, seolah itu juga sindiran beserta ancaman. Arman yang pertama kali menyadari bahwa temannya agak berubah pagi ini.

Aswin berdeham. Ia berdiri di tengah lingkaran dengan posisi tegap. "Baiklah. Beberapa hari belakangan, aku mencari tahu mengenai kasus ini. Pembunuhan yang terjadi di rumah ini tidak lain adalah kesengajaan yang direncanakan." Aswin memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. Kakinya melangkah untuk memutari lingkaran dalam berisi orang-orang yang duduk. "Pembunuhan pertama yakni Ibni yang dieksekusi di kamarnya sendiri. Melalui kamera pengawas, tidak ada satupun yang memasuki kamar itu. Namun, ada satu cara untuk membunuhnya, yakni dengan menembus kamar dari lantai atas. Aku tidak perlu menjelaskannya, tapi jika kalian penasaran, kalian bisa menurunkan lantai kamar atas ke bawah. Itu adalah jalur penghubung yang dimiliki oleh gedung ini. Dan yang bisa melakukannya hanyalah orang-orang di lantai atas."

Wanita-wanita merasa tersinggung dengan tuduhan itu. Mereka menunjuk diri sendiri dengan wajah tidak percaya.

"Setega itu ia menuduhku," kata Jessica sambil menggamit lengan Vira yang hanya diam dengan tatapan kosong. "Padahal kita selalu bersama."

"Itu 'kan hanya tadi malam. Sebelumnya, kau tidak punya alibi," ucap Yuni sambil melayangkan jari telunjuk dan tengah―membentuk simbol Peace. "Aku juga punya masalah yang sama kalau begitu."

Aswin mendekati barisan perempuan. Empat wanita muda yang berjajar―kecuali Vira―sedang menatapnya tajam. Rosa sebagai satu-satunya wanita yang duduk diantara laki-laki ikut memperhatikan gerak-gerik Aswin yang semakin memperlihatkan ketidaksukaannya pada salah satu dari keempat orang di sana. "Pembunuhan terjadi pada pukul 3 pagi. Satu-satunya wanita yang masih berada di luar kamar adalah Vira yang katanya berbincang dengan Kiki." Mata bulatnya menatap Kiki yang mengangguk bingung, lalu beralih pada Vira. "Dan tidak ada yang bisa menjadi saksi ia benar-benar masuk ke dalam kamarnya sendiri."

IN Series 5: CincinTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang