Happy Reading
Pulang dari tempat kerja tubuhku terasa lelah semuanya. Sudah satu bulan lebih aku bekerja di pabrik yang memproduksi mesin mobil juga motor.
Awalnya semua terasa sama seperti tempat kerjaku yang dulu. Tapi sekarang aku tau apa yang membuat gaji di pabrik ini besar yaitu karena bekerja dalam memproduksi mesin itu membutuhkan tubuh yang selalu fit tidak seperti waktu aku bekerja di pabrik sepatu di Garut. Meski sedang nyeri haid masih bisa kutahan sedangkan di pabrik ini setiap nyeri haid aku pasti mengkonsumsi obat peredanya. Jika tidak mengkonsumsinya maka aku tidak akan bisa bekerja karena pikiranku akan terfokus pada rasa sakit akibat haid.
Bekerja di pabrik mesin ini butuh fokus yang kuat agar tidak terjadi suatu kesalahan dalam bekerja. Di pabrik ini akan ada perpanjangan kontrak kerja jika pekerjaan yang kita lakukan memuaskan tapi jika kita bekerja seadanya saja apalagi sudah melakukan kesalahan maka atasan akan mengingat nama kita untuk tidak melakukan perpanjangan kontrak.
Aku duduk di teras rumah menatap kendaraan yang berlalu lalang sambil memakan kudapan disertai coklat panas. Malam hari adalah kesukaanku karena pada malam hari aku bisa melakukan apa yang aku suka. Bi Cici beserta suami dan anak-anaknya kecuali bang Arya masih berada di tokonya. Karena itu aku merasa bebas dapat melakukan apa pun. Biasanya jika ada bi Cici juga suaminya makan saja aku masih takut-takut mengambilnya.
Bunyi motor berhenti di depan rumah menghentikan aktivitasku. Bang Arya membuka gerbang lalu menuju garasi untuk menyimpan motornya.
“Ngapain di luar Ca? Mama sama yang lain belum pulang?” tanya bang Arya lalu ikut duduk di kursi yang ada di dekatku sambil memakan kudapanku.
“Bosan di dalam rumah. Lagian Bibi sama yang lain tumben udah larut belum balik juga bang?”
“Ntah, mungkin masih rame di tokoh.”
“Abang tumben larut pulangnya. Biasanya ngerjain tugas sampai sore aja sekarang kenapa sampai larut Bang?”
“Tugasnya tadi cepat selesainya kok. Cuma tadi Abang ketemu sama teman masa SMP dulu Ca. Biasa ngobrol sampai lupa waktu,” jawabnya yang kubalas dengan kata ‘O’.
“Dasar, Abangkan udah pernah bilang gak suka tanggapan kamu itu cuma ‘O' Ca.”
“Iya, maaf. Terus gimana teman Abang tuh ganteng gak? Kalau ganteng kenalin sama aku dong Bang! Siapa tau kami jodoh,” candaku.
“Ganteng itu relatif Ca. Tapi, asal kamu tau dia bisa tiga bahasa loh.” kata bang Arya yang kubalas dengan cibiran.
“Masa,” ucapku tak percaya.
“Benar. Dia bisa bahasa Inggris, bahasa Mandarin, plus bahasa kita. Lagian dia udah dari waktu SMP pintar kok. Jadi Abang rasa itu udah hal yang wajar.”
“Aca juga bisa tiga bahasa kok,” kataku pada bang Arya.
“Kamu bisa tiga bahasa,” tunjuk bang Arya padaku.
“Benar, tapi Aca gak sombong kok.”
“Coba sebutin bahasa apa yang kamu bisa?” tanya bang Arya padaku.
“Pertama Aca bisa bahasa Minang malah lancar, kedua bisa bahasa Sunda meski belum lancar amat sih, yang ketiga Aca bisa bahasa kita bahasa Indonesia.” ucapku bangga sambil memukul dadaku.
“Kamu itu diajak serius malah becanda. Abang juga bisa tiga bahasa yang kamu sebutin tadi.” katanya lalu menoyor kepalaku.
“Ihhh... Abang... Aca gak suka kepala Aca ditoyor-toyor. Ntar kalau bodoh Aca berarti salah Abang,” teriakku padanya lalu memukulnya.
“Udah sana tidur lagi udah malam nih! Besok kamu lemburkan? Nih mama SMS kakak katanya udah di jalan,” ucap kak Arya padaku sambil membantuku membawa kudapan yang masih tersisa.
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengejar Takdir
General FictionSeorang gadis yang bermimpi dapat mengangkat derajat kedua orang tuanya. Ia berharap dengan keberangkatannya ke pulau Jawa dan meninggalkan pulau Sumatera ia bisa mengubah takdir hidupnya. Jika perlu ia rela menyebrangi lautan dari negara satu ke ne...