Happy Reading
Hidup itu butuh proses karena setiap proses yang kita lewati akan mendewasakan kita. Disini aku menulis sambil menatap teman yang lain yang asik bersenda gurau sedangkan diriku asik dengan dunia sendiri. Aku adalah orang yang pasif. Aku lebih suka mengamati dibandingkan ikut serta berinteraksi.
Aku menatap mereka dari meja guru sesekali aku lanjut menulis. Lalu kedatangan guru secara tiba-tiba membuatku kaget dan lari terbirit-birit menuju mejaku.
Sinta teman sebangku ku, menahan tawa sesekali melirikku. “Tuh, kebiasaan kamu sih Ca duduk di kursi guru. Udah sering juga diingatin kalo mau nulis itu di meja sendiri. Lagian gak bakal dilihat juga kok paling diintip doang.” katanya sambil menunjukan dua jari padaku.
“Arisa, Sinta bisa diam! Atau kalau masih ada yang ingin dibicarakan silahkan dibicarakan diluar jam saya!” Tegur guru yang ada didepan kelas. Membuatku dan Sinta diam tak berkutik. Karena kami termasuk siswa teladan jadi kalau ditegur rasanya kami sudah melakukan kesalahan yang sangat fatal. Dan nanti setelah pelajaran buk Nita selesai kami akan saling lempar kesalahan. Itulah kebiasaan kami, kadang bisa dekat bagaikan kami itu saudara tapi terkadang kami juga bisa jauh bagaikan musuh bebuyutan.
***
Yah, aku dan Sinta bisa dibilang akrab karena dia adalah teman pertamaku di kelas sepuluh ini. Terkadang aku heran, kenapa aku bisa akrab sama Sinta padahal dari segi manapun kami jauh berbeda. Aku pendiam, dia termasuk orang yang cerewet. Aku susah bergaul, dianya mudah akrab dengan teman-teman yang lain. Ibaratnya aku sama Sinta itu bagaikan minyak sama air.Pelajaran kami lewati dengan saling diam, kadang sesekali dia melirikku atau aku meliriknya. Aku dan Sinta biasanya kalau sudah mulai bosan memperhatikan papan tulis kami akan saling bicara lewat kertas kecil yang sudah dirobek. Bahkan, teman yang ada didepan bangku kami juga ikutan. Tapi, akibat insiden tadi, kami cuma saling lirik saja.
Jam istirahat, aku lewati dengan sendirian di kelas setelah adu cekcok dengan Sinta. Lagian aku bawa bekal dari rumah buat menghemat uang jajan untuk ku simpan beli kuota internet. Aku berasal dari keluarga sederhana. Jadi, harus bisa berhemat agar uang jajanku bisa ketabung sebagiannya.
Kedatangan Sinta dan yang lainnya membuatku cepat-cepat menghabiskan isi bekalku. Sinta duduk disampingku lalu meraih sendok yang ada ditanganku. “Bagi dong Ca, Nta masih lapar. Lagian makanan di kantin gak cukup banyak buat mengisi perut gentong Nta.” Ucap Sinta sambil menyendok isi bekalku.
"Tuh makannya, Makan itu baca doa dulu!"
"Kadang suka lupa Ca. Lagian baca doa maupun gak baca doa tetap aja makanan di kantin gak cukup buat ngisi perut Nta."
Kadang aku suka merasa aneh dengan Sinta.
''makan banyak tapi gak bisa gemuk yang ada tinggi kamu yang hampir sama dengan tiang listrik.'' perkataanku itu pasti selalu membuat Sinta berwajah jutek seperti sekarang.
Yah, begitulah persahabatan kami. Meski sering adu mulut tapi pada akhirnya pasti ada salah satu dari kami yang akan mengalah untuk saling tegur duluan.
TBC
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengejar Takdir
Ficção GeralSeorang gadis yang bermimpi dapat mengangkat derajat kedua orang tuanya. Ia berharap dengan keberangkatannya ke pulau Jawa dan meninggalkan pulau Sumatera ia bisa mengubah takdir hidupnya. Jika perlu ia rela menyebrangi lautan dari negara satu ke ne...