Happy reading
Sebelum keberangkatanku untuk kembali ke kampung halamanku. Tekadku sudah kubulatkan untuk membatalkan perpanjangan kontrak kerja di pabrik yang sudah dua tahun lebih menjadi tempatku mencari rezeki. Sekarang saatnya berkumpul kembali dengan keluargaku, masalah pekerjaan nanti masih bisa kucari tapi rasa rinduku kepada orang tuaku yang sudah tiga tahun ini harus dapat terobati.
Rindu dengan masakan mama, rindu dimarahi oleh mereka karena menjahili adikku, juga banyak rindu yang lainnya.
Kutatap wajah kedua orang tuaku yang menangis mendengar ceritaku. Cerita bagaimana awal aku mencari kerja juga alasan kenapa aku tidak dapat pulang sewaktu di Garut karena uang yang aku punya hanya pas untuk diriku sendiri.
“Mama bangga sama kamu Ca. Kamu dapat bertahan dimasa sulit, kamu juga dapat beradaptasi dengan perubahan yang ada di sana.”
“Alhamdulillah, Ma. Dulu pernah ada niat, ‘Mending Aca pulang aja, di sini nganggur di rumah nganggur.’ tapi keingat mama sama ayah yang udah banyak memberikan semua untuk Aca. ‘Masa hanya segini aja pengorbanan Aca untuk mama sama Ayah?’ begitulah kira-kira kalimat tercetus dalam otak Aca tiap Aca mau menyerah dengan takdir, ” ceritaku pada mereka.
Mereka tersenyum haru mendengar ceritaku. Mata mereka berkaca-kaca melihat padaku.
“Kenapa pada sedih lagi sih? Perasaan semalam juga nangis-nangis masa sekarang nangis lagi,” ucap Amel adikku dengan gaya lebay.
“Kamu mah gak ada nangis-nangisnya dari semalam Dek. Lihat aja ntar kakak ambil lagi HP kamu,” ucapku yang membuat adikku cemberut.
“Mama... Ayah... lihat kak Risa,” teriak adikku.
“Berisak Ca, jangan ganggu adikmu.” ucap mama padaku.
“Biarin Ma, masa udah SMP masih kayak anak-anak dia.”
“Biarin mirip anak-anak di Kakak. Emang Kakak mau punya adik mirip tante-tante padahal masih kecil.”
Dasar, jika berdebat dengan adikku yang satu ini sama kayak berdebat dengan bang Arya gak bakal kelar-kelar masalahnya yang ada makin lebar.
***
Aku berkunjung ke rumah para tetangga untuk memberikan sedikit oleh-oleh. Niatnya akan bercengkrama sebentar tapi mereka malah menahanku dengan pembicaraan yang amat aku hindari.
“Ca, mama kamu seusia kamu udah punya anak. Kamu kapan nikahnya?” tanya bi Rini salah satu tetanggaku.
“Belum tau Bi. Lagian jodohnya belum ada,” jawabku sambil tersenyum manis pada mereka. Padahal dalam hatiku aku sudah berkeinginan untuk lenyap dari sini.
“Katanya, waktu itu nenek kamu udah nyiapin jodoh buat kamu Ca. Kenapa gak jadi,” tanyanya padaku berusaha mengorek informasi dariku.
“Punya tetangga kok gini amat ya Allah. Kayak hidup mereka aja udah benar pake acara ngurusin hidup orang lain segala,” batinku.
“Eh, maaf Bi. Aca harus pergi dulu, lain kali lagi ngobrolnya Bi!” pamitku lalu ke dalam rumah.
“Kenapa gitu ekspresinya Ca? Kayak ngehindar dari kejaran harimau aja kamu,” tanya Mama yang sedang masak di dapur saat aku minum ke dapur.
“Biasa, Ma.”
“Biasanya apa?” tanya Mama sambil mengaduk masakannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mengejar Takdir
General FictionSeorang gadis yang bermimpi dapat mengangkat derajat kedua orang tuanya. Ia berharap dengan keberangkatannya ke pulau Jawa dan meninggalkan pulau Sumatera ia bisa mengubah takdir hidupnya. Jika perlu ia rela menyebrangi lautan dari negara satu ke ne...
