4. hayati🧕

21 2 0
                                    

Oy adek berjilbab coklat,
hati abang sungguh terpikat, 
maukah kau ku ajak akad,
ku pinang kau dengan sholawat

Maula ya sholli wasalim daa iman abada,
'alal habiibika khorilkholqi kulihimi

∆∆ typo bertebaran ∆∆


"Han, Hayati jatuh cinta" kata Dinda dengan napas ngos ngosan. Kemudian masuk dan duduk di karpet yang digunakan Jihan untuk belajar.

"Ada ning Ainun loh" kata Jihan santai sembari menyerahkan segelas air minum pada ning Ainun untuk kemudian duduk di hadapannya.

Ning Ainun tersenyum dan menerima mug dari Jihan "Syukron mbak"

"Eh, ada ning cantik. Aduh maaf ya saya ganggu". Kata Karin heboh untuk kemudian duduk di sebelah Dinda .

"Nggapapa mbak. Hayolo jatuh cinta sama siapa?" Goda ning Ainun pada Karin.

"Ih si ening mah. Ngga ah. Nanti ganggu ning Ainun belajar".

"Jangan bilang sama Gus Nur" mata ning Ainun tampak menyipit.

"Enggak. Bukan santri ponpes sini apalagi Gus. Udah ning Ainun belajar dulu aja. Saya mau ke kamar mandi". Karin kemudian meninggalkan tempat.

Dinda tengah mengaduk dan mengeluarkan isi plastik hasil belajarnya di koperasi "Ini Han, hi-tech, isi pensil sama kertas bindernya." Katanya menyerahkan barang yang di sebut kepada Jihan.

"Jazakillahu khoir Din".

"Tadi aku ketemu ustadz Handy dwong han" kata Dinda pura pura menyibakkan jilbabnya.

"Masa? Pantesan sumringah gitu. Jumpa dimana?"

"Pas mau pulang, tadi di lapangan voli".

"Ooh".

"Yah gini kalo gusti sudah merestui. Semesta mah bisa apa". Tuturnya merentangkan tangan seolah berbicara pada semesta.

Jihan hanya tersenyum. Menyembunyikan apa yang sebenarnya ia rasakan saat Dinda berkata demikian. Tapi, doa yang memaksa belum tentu terwujud kan?

****

Menjelang petang, Jihan mengantarkan ning Ainun sebagai bentuk permintaan maaf karena sudah meminta Ning Ainun untuk belajar di asrama. Sembari membantu Nyai di ndalem yang kebetulan tengah membereskan sisa masak hari ini, dengan 2 santriwati yang bertugas.

"Kamu beneran belum pingin nikah ya ndhuk?" Tanya Nyai Sidur yang tengah duduk di kursi meja makan sedang Jihan tengah mencuci gelas kotor di wastafel.

"Dereng Nyai" sahutnya menghadap pada Nyai Sidur.

"Pinginya yang kayak gimana tho ndhuk? Yang kemaren itu kan menurutku udah ples ples. Kok ndak gelem?"

"Dalem dereng wonten kepenginan nikah Nyai. Dalem dereng siap" 

" Lah, kemarin juga kan ustadz disini ada yang nembung sama Abah. Tapi belum bilang ke kamu to? Karna kan kemarin keduluan ustadz Hanafi".

"Lantas Nyai?"

"Ya ditunggu saja kabarnya. Aku si nggak mau maksa kamu ndhuk, semua keputusan ada di kamu. Pihak ndalem ngga maksa kamu kok"

"Inggih Nyai"

"Wes. Udah selesai to? Hampir maghrib. Ndang mangkat"

"Inggih nyai".

Jihan kemudian pamit dan menuju asrama untuk mengambil mukena. Di tengah jalan berpapasan kembali dengan 2 santriwan yang entah hendak kemana.

"Eh, ada mbak cercan. Sapa atuh huy" bisik salah satu dari mereka.

"Assalamualaikum mbak Jiihan" kata santriwan yang menggunakan kopyah putih.

Jihan hanya berhenti sebentar menjawab salam kemudian melanjutkan jalannya, tanpa ada senyum dan menatap balik di lawan bicara.

"Huh, cantik tapi kayak kutub selatan". Kata si santri berkopiah putih. Temannya hanya mengangguk, setuju. Entah setuju cantiknya, ataupun dinginnya Jihan ketika berpapasan dengan santriwam, atau justru keduanya.

To be continued

Dengan 1000 Nadhom Alfiyah, aku melamarmu (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang