Da'unii-da'unii unajii habiibii
Walaa ta'dzuluuni fa'adzlii haram∆∆ typo bertebaran ∆∆
Jihan POV
Setahun kurang 2 hari. Kemanalah bukti janji itu? Aku rela menunggu dengan sabar. Menanti hari demi hari untuk menepati janjiku. Sudah aku tepati hingga hari ini tapi, diapun nampak diam diam saja. Tidak ada bibit bibit datang yang terlihat.
Mungkin besok, atau lusa. Setahun yang kurang 2 hari.
*****
Lusa telah berlalu, telah bertambah lagi sebulan. Mengapa kah tak kunjung datang? Apa penantianku selama ini akan sia sia? Bagaimana dengan perjuangannya selama ini? Agh, mengingatnya membuatku kesal.
Drrrt drrrt
Smartphone di saku bajuku bergetar. Siapa?
"Assalamualaikum pak".
"Wa'alaikumussalaam ndhuk. Kamu dimana?"
"Di jalan pak. Jihan mau beli sesuatu".
"Habis beli langsung pulang ya ndhuk".
"Eh? Buru buru sekali. Ada apa pak?"
"Gegaslah pulang. Bapak tunggu".
Tut Tut Tut
Eh??? Tidak biasanya bapak begini. Atau ada tamu kah? Atau ada eyang kah? Bapak selalu menyuruhku pulang segera jika ada eyang, pun bapak selalu bilang. Lah ini?
Mungkin di suruh bantu ibu bikin kue lagi.
******
Akupun menuju mini market. Membeli beberapa keperluan, dan juga cemilan. Entah mengapa, akhir akhir ini sedang hobi ngemil, oke itu bukan hobi, melainkan kebutuhan.
"Jihan?" Siapa? Akupun menoleh.
"Mas Iqbal". Kataku kemudian menunduk.
"Benar rupanya. Sedang belanja?"
"Iya mas. Mas Iqbal sendiri belanjakah?"
"Ooh. Aku nganterin Ruhi, beli cemilan".
"Kalau begitu saya duluan". Kataku kemudian berlalu pergi.
Ah, kenapa harus bertemu mas Iqbal disini. Iya, dia dulu adalah kakak kelas di Aliyah, terpaut jarak setahun. Dia pernah mengutarakan perasaannya dan sampai ada rumor bahwa dia jadi depresi gara gara aku tolak.
Hmmm, dan Ruhi? Itu adiknya. Entahlah, semenjak mas Iqbal lulus, aku tidak lagi mendengar kabarnya sebab ia memilih untuk melanjutkan kuliah di luar kota. Mungkin saja sekarang sudah masuk semester 7. Aku tidak terlalu peduli.
Selesai berbelanja, aku berjalan pulang. Di tengah jalan aku merasa seperti ada yang membuntuti ku dari belakang. Merasa tidak aman, aku bergegas berjalan.
"Mbak Jihan".
"Astaghfirullah. Azam. Ngagetin aja". Kataku pada anak kecil ,ya salah satu muridku di TPQ yang tiba tiba saja muncul dari belokan gang.
"Darimana mbak?"
"Dari minimarket depan. Kamu mau kemana?"
"Mau main. Nanti sore ujian kan?"
"Iya. Emang kenapa?"
"Nggapapa. Nanti soalnya jangan susah susah ya. Mamaku sedih waktu denger kemarin gagal ujian". Curhatnya sedih.
"Hmmm, makanya Azam belajar. Biar bisa njawab soal ujiannya, terus naik kelas deh".
"Iya juga ya. Ya udah deh. Nanti Azam belajar, sekarang main dulu hehe".
"Azam mau cemilan?"
"Mau dong".
"Nanti belajar yang rajin ya".
"Iya. Mbak sini deh, Azam kasih tau".
"Apa?"
'ada kakak yang ngikutin mbak Jihan' katanya berbisik di telingaku.
"Iyakah? Makasih ya udah kasih tau. Mbak pulang dulu ya".
"Oke. Makasih loh ini jajannya. Azam suka".
"Iya".
"Dadah mbak cantik".
Seperginya Azam. Aku kemudian kembali berjalan cepat, takut takut orang itu menyekapku.
Akhirnya aku pulang lewat jalan tikus dan berakhir di pintu belakang. Alhamdulillah sampai.
"Jihan?"
Astaghfirullah.
"Mas Syeh?"
To be continued
KAMU SEDANG MEMBACA
Dengan 1000 Nadhom Alfiyah, aku melamarmu (Revisi)
Teen FictionCerita ini menceritakan tentang kehidupan seorang santriwati yg memiliki keunggulan luar biasa dibanding santriwati lainya. Dia banyak membuat laki-laki dari kalangan pesantren jatuh cinta padanya, karena kecantikan, kecerdasan, serta kesholihahanya...