24. semester 💞

8 2 0
                                    

Waqtu sahar biyati
Al ha'ala lishofa
Wabiyajudil 'alil
Fadhil'alil wafa

∆∆ typo bertebaran ∆∆

Syeh POV

Sudah 5 bulan sejak Raihan meninggalkanku, dan Umar menyusul sebulan kemudian. Meskipun Raihan tidak berpamitan, Umar justru yang bolak balik kesini cuma buat nengokin aku.

Aku baik. Dengan kembali mengingat janji Jihan untuk menungguku, itu membuatku kembali bangkit. Yah, meskipun untuk sekarang aku sedang dirawat karena tipesku kambuh.

"Assalamualaikum". Eh, ada Gus hafidz dan ustadz Muafik. Buset, bawa buah tangan segala.

"Wa'alaikumussalam". Kataku seraya bangkit duduk. Yah, aku cuman rebahan di kamarku. Karena ibu ngotot mbawa aku pulang . Merepotkan kalau sakit di pesantren katanya.

"Syafakallah Syeh. Anak kuat pasti lekas sembuh".

"Syukron Gus doanya".

"Ini ada buah buahan".

"Buah Us".

"Iya. Buah buahan".

"Buah Us. Kalau buah buahan nggak bisa dimakan".

"Kan banyak macamnya Syeh, ada jeruk, pir, melon, jambu. Kan buahnya nggak cuma 1 toh?".

"Bener Syeh. Kamu nggak masuk nalar".

"Ya udah. Saya ngalah Gus, Us". Gus hafidz dan ustadz Muafik terkekeh.

"Gimana udah mendingan?"

"Alhamdullillah udah Gus. Tinggal lemes sama pusing dikit. Lusa insyaaAllah balik pesantren kok".

"Tunggu pulih sepenuhnya dulu. Baru balik".

"Kelamaan Us. Waktunya mepet".

"Oh iya. Kemaren sampe nadhom keberapa?"

"Lupa Gus. Saya ngga bawa kitabnya, dirumah nggak bisa hafalin".

"Nih, saya bawakan".

"Wah. Gus Hafidz emang terbaik. Syukron Gus. Seneng saya".

"Makanya cepet sembuh ya".

"Siap".

"Jangan halu terus".

"Ustadz Muafik tuh yang halu terus sama ustadzah Dela".

*****

2 bulan kembali berlalu.

Rasa hati ingin menyerah saja ketika murojaah nadhom yang kadang terlupa. Kadang ingin barang sebentar saja ke kamar, rebahan setelah jam kelas selesai. Tidur lebih awal untuk bangun lebih awal juga.

Seperti ini rasanya memperjuangkan sesuatu yang tak nampak. Perasaan.

Selama ini, aku tidak pernah lagi menemui Jihan. Jihanpun nampaknya menyelesaikan program mengaji lanjutannya sejak Ramadhan kemarin, dan lebih memilih mengajar di TPQ sekitar rumahnya. Iya, Jihan mengajar di TPQ.

Mengenai aku dan Raihan? Tentu saja merenggang. Umar kemarin datang padaku dan mengabarkan bahwa Raihan sakit. Sakit DBD katanya.

"Jenguk Raihan yuk Syeh"

"Jenguk dimana?"

"Di rumah sakit".

"Aku mau ngafalin nandhom. Sibuk".

"Ayolah Syeh. Masa sahabat sakit nggak dijenguk".

"Emangnya waktu kemaren aku sakit dia njenguk aku?"

"Kan aku udah bilang Syeh. Waktu kamu sakit, di pesantren utama ada acara khoulnya pendiri pesantren. Semua orang sibuk".

"Iya si. Kan jadi terlupa toh. Kalaupun sibuk, selepas acara pastilah jenguk walopun aku sudah sembuh".

"Kan aku yang jenguk toh".

"Kamu kan bukan Raihan. Impas lah, dia nggak jenguk aku, akupun nggak jenguk dia".

"Kalian ini kenapa si sebenernya?"

"Apanya yang kenapa?"

"Kok jadi kayak gini? Perasaan dulu baik baik aja deh".

"Aku tau kok. Raihan pergi karena Jihan lebih memilih aku kan? Lantas ia merasa malu, sungkan mungkin atau tidak terima atas penolakan Jihan. Makanya dia pergi nggak pamit"

"Kalian ini bikin aku pusing saja. Aku kangen kalian tauk".

To be continued

Dengan 1000 Nadhom Alfiyah, aku melamarmu (Revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang