26

95 16 9
                                    


#Day: 26
#CLUE: PINANG

.
.
.
.

Malam di pulau Peucang, hawa terasa begitu dingin menusuk tulang. Deburan ombak di malam hari terdengar begitu riuh bergemuruh, belum lagi hembusan angin yang terasa semakin dingin.

Namun itu semua tidak menyurutkan para wisatawan untuk berdiam diri di dalam ruangan. Beberapa dari mereka ada yang sedang membuat jagung bakar, atau memanggang cumi atau lobster untuk sekedar kudapan malam.

Bahkan ada yang memilih untuk membuat api unggun, menciptakan kehangatan yang berasal dari tumpukan kayu yang di bakar. Seperti yang dilakukan Abrian dan kawan-kawan. duduk di atas batang kayu Pinang yang di susun berbaris dua.

Mananta yang sengaja membawa gitar itu pun, mulai memberikan beberapa senar gitarnya. Menciptakan alunan melodi yang begitu syahdu. Lagu-lagu cinta mengalun dari suara baritonnya.

Sedang yang lainnya terlihat mendengarkan juga menikmati alunan lagu yang dimainkan oleh pria berkumis tipis itu.

Termasuk Abrian dan Meta, dua anak manusia yang sedang di asmara ini, begitu larut dalam suasana yang terasa romantis. Tangan yang saling bertautan, menyalurkan kehangatan tubuh pada pasangan, tidak lupa saling melempar pandang. Walau terkadang si cantik terlihat menghindari tatapan kekasih tampannya, menyembunyikan semburat merah muda karena salah tingkah juga karena tatapan tajam itu mengacu pada detak jantungnya yang berdetak tak normal.

Khao dan pak Imron yang tidak sengaja melihat pemandangan malu-malu kucing dua orang di depannya, hanya terkikik geli.

Pak Imron dengan sarung yang membalut tubuh tambunnya, sedikit memiringkan badannya dan berbisik di telinga Khao.

"Beda ya kalau lagi kasmaran, auranya kaya berbunga-bunga gitu." Khao menahan tawanya ketika mendengar bisikan kata yang diucapkan supir pribadi Brian itu.

"Dunia serasa milik berdua pak, yang lain mah cuma ngontrak." Balas Khao yang juga ikut berbisik, membuat pria tambun itu terkikik geli.

Berbeda dengan sahabat Brian yang menggunakan kacamata itu.

"Cinta sama Nancy kemana?" Tanya Tama kepada Prilly yang duduk di sisi kanannya.

Prilly yang sedang fokus memperhatikan kakak sepupunya itu pun mengalihkan sejenak atensinya pada Tama.

Wajah cantiknya yang terlihat polos tanpa polesan makeup itu mengedarkan pandangannya ke segala arah, lalu mengedikkan bahu tidak tahu.

"Kagak tahu." Jawaban singkat Prilly berikan, dan memilih untuk kembali fokus pada Mananta yang masih memainkan gitarnya.

Sedangkan Tama hanya mencebik ketika mendengar jawaban ketus yang diberikan oleh adik dari sahabatnya itu. tidak heran, Prilly dan Tama memang terlalu sering bertengkar, entah karena apa. Tapi yang pasti, gadis muda itu selalu saja bersikap ketus padanya.

Sedang di sisi lain, Du wanita dewasa dengan perbedaan tinggi badan yang begitu kentara, duduk berdua di dalam kamar, dengan atmosfir yang terasa kaku.

"Lo mau ngomong apaan sih, Cin? Buruan deh." Tanya Nancy dengan melipat kedua tangannya di depan dada, menatap malas sahabatnya itu.

"Lo bisa nggak jaga sikap Lo?" Nancy memicing ketika mendengar ucapan Cinta yang terkesan seperti sebuah peringatan.

"Maksud Lo apa?" Ada rasa kesal yang menjalari hati Nancy, kala sahabatnya bertanya seolah-olah dirinya baru saja membuat masalah.

"Gue tahu Lo cemburu sama Meta, tapi nggak dengan cara mempermalukan dia di depan anak-anak yang lain." Ujar Cinta, berusaha untuk bersikap tenang. Karena ia tahu bagaimana tingkat pengendalian emosi yang dimiliki oleh wanita yang ada di hadapannya ini.

IM SORRYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang