#DAY: 36
#CLUE: BOLA.
.
.
.Semenjak menjalin hubungan, Meta biasanya hanya melihat Abrian duduk di kursi kebesarannya itu lewat layar ponselnya. Tapi kini, ia bisa melihat secara langsung bagaimana pria itu menatap beberapa berkas yang baru di terimanya beberapa menit lalu dengan mimik serius.
Membolak-balik kertas putih yang bertumpuk di mejanya, kemudian beralih menatap layar laptop yang sejak tadi menyala, menampilkan sesuatu entah apa.
Meta duduk di atas sofa yang ada di ruangan besar itu, di depannya ada beberapa kudapan yang dipesan Abrian bersama dengan makan siang mereka tadi.
Meta memilih untuk mengirim pesan pada sahabatnya, Khao. Tapi sudah tiga puluh menit berlalu, tidak ada balasan yang diberikan oleh sahabatnya itu. Bahkan pesannya pun belum dibuka.
Begitu juga ayahnya, apakah mereka sedang sibuk? Jarinya kembali mengscrooll layar ponselnya, tiba-tiba gerak jarinya terhenti pada satu nama yang pernah mengisi salah satu sudut di hatinya.
Membuka ruang chat, terlihat ragu apakah ia harus mengirim pesan pada Awan? Memilih untuk mengikuti kata hatinya, Meta mengirim satu chat berisi "hai" pada nomor Awan. Tapi sama dengan sebelumnya, Awan juga belum membuka chatnya.
Merasa bosan, Meta meletakkan ponsel miliknya di atas sofa. Sudah pukul 17.30, arah pandang Meta tertuju pada langit senja di hadapannya. Gadis itu berdiri, berjalan mendekat ke arah kaca besar di depannya.
Memandangi langit senja dari atas gedung, sejenak ia tersenyum ketika mengingat obrolannya dengan Khao sewaktu menemani mas Awan tes. Segelintir rindu menyerang hatinya, sedang apakah ayahnya sekarang? Sedang apa sahabatnya? Kedua netranya yang berpendar terang itu menikmati langit senja dari ketinggian gedung perkantoran milik kekasihnya. Hal yang tidak pernah ia bayangkan sebelumnya.
Di tengah lamunannya, Meta dikejutkan oleh sepasang tangan yang melingkar di perutnya, Memeluknya dengan begitu erat. Bukan hanya itu, kecupan kecil juga rasakan ketika sang kekasih meletakkan wajahnya di ceruk lehernya. Membuat bulu kuduknya meremang. Meta memang masih alami, belum ada Lelaki yang menyentuhnya seintim ini. Abrian adalah lelaki pertama yang menyentuhnya dan akan menjadi yang terakhir.
"Apa yang mengganggu pikiranmu?" Pertanyaan yang Abrian ajukan sedikit teredam suaranya, karena pria itu masih betah menciumi bahu serta lehernya. Tidak mempedulikan rasa geli yang di rasakan sang kekasih.
"Tidak ada, hanya selalu merasa tenang ketika melihat langit senja. Terlihat sangat indah." Jawaban yang diberikannya, membuat Abrian mengangkat wajahnya. Pria tampan itu ikut memandangi langit yang ada di depannya. Pelukannya semakin mengerat, tanpa canggung Abrian menyandarkan sisi wajah di sisi wajah sang kekasih.
"Mas ingin punya anak sebelas, agar nanti bisa dibuat grup sepak Bola." Ucapan yang keluar dari Abrian mengundang tawa dari si cantik. Meta sedikit menggeser wajahnya untuk melihat sang kekasih dari jarak yang begitu dekat dan intim.
"Setahun satu dong aku lahirannya." Sahut Meta yang membuat Abrian tergelak dalam tawanya. Keduanya larut dalam bayangan akan masa depan yang sebentar lagi akan mereka rajut.
Membayangkan dirinya yang memasak cemilan untuk suami dan anaknya kelak. Menemani mereka bermain Bola di halaman belakang, dan mendengar mereka memanggilnya dengan sebutan "mama". Begitu indah impian yang tercipta dalam benak seorang Meta.
Begitu juga dengan Abrian, bayangan hidup bersama dengan Meta. Gadis asing yang baru ia temui, namun berhasil membuat dirinya menjadi pusat atas perasaan yang dimilikinya. Kecantikan alami serta kebaikan hatinya, mampu membuat seorang Abrian kalang kabut oleh hasrat yang semakin hari semakin kuat untuk memiliki Meta seutuhnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
IM SORRY
RomanceMeta Anggraini, yang menganggap Abrian adalah pria yang sempurna. Namun, kenyataan lain harus diterimanya ketika Meta menyadari satu hal. Dirinya belum mengenal baik sosok Abrian dengan baik. Ketidak setaraan kasta keduanya menjadi rintangan terbesa...