32

87 17 4
                                    

#DAY: 32
#CLUE: Lindap

Meredup, padam, teduh.

.
.
.
.

Di malam yang gelap, Langit sepertinya sedang mendung. Sudah sejak siang tadi, mentari begitu betah bersembunyi di balik awan hitam, Melindap cahaya terangnya.

Meta terlihat sedih, duduk sendiri di kursi panjang yang ada di teras rumahnya. Raut sendu begitu jelas tergambar di wajah cantik nan ayunya.

Binarnya yang biasa memancarkan kebahagiaan, kini terlihat Lindap. Tak ada cahaya dalam tatapannya, helaan napas beberapa kali Meta hembuskan.

Teringat kembali reaksi yang ditunjukkan oleh sang ayah, ketika dirinya mengatakan bahwa Abrian, sang kekasih telah melamarnya.

Tidak ada kebahagiaan yang diperlihatkan sang ayah ketika mendengar kabar tersebut. Apakah bagi sang ayah, lamaran Abrian sebuah kabar buruk? Disaat ia menganggap hal itu adalah kabar baik untuknya.

Tatapannya terlihat kosong, menatap langit gelap sepi tanpa satu pun bintang menemani.

Tes ...

Setetes air mata kembali jatuh dari pelupuk mata yang semakin terlihat Lindap. Lelehan bening itu menganak sungai, membuat jejak di kedua pipi putihnya. Wajah dan hidungnya tampak memerah karena tangisannya.

Tidak menyadari, jika di balik pintu ada sang ayah yang juga ikut menangis melihat bagaimana terlukanya sang putri, apalagi sebab tangisan putri kesayangannya adalah dirinya sendiri.

Juan, bukannya tidak senang dengan kabar yang Meta katakan. Jujur, sebagai seorang ayah, orang tua satu-satunya yang Meta miliki, Juan sangat bahagia. Tapi di sisi lain, ia juga sedih. Ketika tahu jika akan ada orang asing yang akan membawa pergi anak kesayangannya, mutiara hatinya.

Tiba-tiba sesak menyerangnya, meskipun ia tahu, cepat atau lambat. Juan harus siap menghadapi di mana akan ada momen seorang pria yang datang kepadanya, meminta izinnya untuk meminang putri satu-satunya, membawanya pergi dari sisinya.

Putri yang sejak kecil ia timang-timang, yang selalu ia bahagiakan dengan segenap jiwanya, putri yang selalu ia prioritaskan. Tiba-tiba, ada orang yang akan merebutnya dari sisinya.

Bagaimana tidak sedihnya ia? Di hidupnya, hanya Meta-lah yang ia punya. Juan sama sekali tidak pernah membayangkan jika paginya, siangnya, malamnya, tidak akan tawa dan celotehan dari sang putri.

Juan menutup mulutnya rapat, menahan agar isakannya tidak keluar. Wajahnya memerah menahan tangis, menatap kembali ke luar. Meta, putri cantiknya masih terisak dalam tangisan pilunya.

Pria itu kembali masuk ke dalam kamar, menenangkan hatinya. Mencoba belajar ikhlas dan mencoba menerima dengan tangan terbuka lamaran Abrian untuk putrinya.

.
.
.
.

Ruangan dengan cahaya yang Melindap, degupan suara musik yang keras dan memekakkan telinga memenuhi ruangan yang cukup besar. Hiruk pikuk serta sorakan dari anak-anak ibu kota penyuka dunia malam, terlihat hilir mudik dengan gelas di tangan. Tubuh yang bergerak mengikuti alunan musik yang dimainkan sang DJ di atas panggung sana. Di sudut bagian ruangan yang redup itu, terlihat tiga orang pria dewasa. Menikmati beberapa botol minuman yang telah dipesan oleh salah satu dari ketiganya.

Sebenarnya, lebih tepat jika dua orang pria yang sedang menemani satu temannya yang terlihat sangat frustasi. Sudah gelas ke tujuh minuman yang ditenggak oleh pria yang masih mengenakan kemeja kerjanya. Jasnya ia tinggalkan di dalam mobil,

IM SORRYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang