40

456 34 35
                                    


#DAY: 40 END
#CLUE: RAHASIA

.
.
.

Dua minggu sudah berlalu setelah kejadian di pesta ibu mertuanya, Abrian masih mempertahankan sikap dinginnya. Abrian selalu sarapan di rumah, tapi mereka selalu melewatinya dalam diam. Abrian  tidak pernah meminta dibuatkan menu sarapan kepadanya seperti biasanya, suaminya itu lebih memilih untuk meminta langsung pada pelayan. Ingin rasanya ia mengajak suaminya untuk berbicara, tapi rasa takut lebih mendominasinya.

Takut jika Abrian akan mengeluarkan kata-kata yang akan menyakitinya lagi, sudah cukup luka yang ditorehkan oleh Abrian, dan itu pun belum sembuh sepenuhnya.

"Jangan bawa makan siang ke kantor, hari ini mas akan meeting di luar dengan klien." Ucapnya sebelum pergi meninggalkan ruang makan, dan Meta hanya mengangguk pasrah.

Tes

Satu lelehan bening jatuh dari maniknya yang sendu, tidak ada lagi cahaya pada binarnya. Meta menangis dalam diam setelah kepergian suaminya. Selama dua Minggu ini memang Meta rutin mengirimkan makan siang untuk suaminya, selain sebagai permintaan maaf, ia juga ingin memperbaiki hubungan mereka yang terasa canggung. Tapi, selama dua Minggu itu juga, Abrian hanya akan menyuruh asistennya mengambil makan siang yang dibawakannya, tanpa menyuruhnya untuk masuk ke dalam.

Sakit dan sedih bercampur menjadi satu, menahan sesak saat suaminya sendiri mengabaikannya juga cemoohan orang-orang kantor tentangnya yang sama sekali tidak pantas menjadi istri dari seorang Abrian Koesoema.

Sepi.. itulah yang Meta rasakan saat ini, bayangan akan kampung halaman menari-nari dalam kepalanya. Seulas senyum pada bibirnya terlihat kala mengingat jika di jam-jam begini, ia akan menghabiskan waktu bersama Khao membuat prakarya. Khao yang tidak berhenti menggodanya atau dirinya yang akan akan tertawa ketika berhasil menjahili sahabatnya itu.

Ia juga teringat kebiasaannya yang selalu mengantarkan makan siang untuk sang ayah, makan bersama diselingi canda dan tawa dari keduanya.

Tapi, senyumnya seketika meredup kala ia menyadari bahwa hal-hal sederhana itu tidak akan pernah ia lewati lagi. Tinggal jauh dari sang ayah dan sahabatnya, membuat Meta merasa kehilangan separuh jiwanya.

Netranya mengedar, memperhatikan suasana mansion yang terasa tenang dan sunyi. Hanya terlihat beberapa pelayan yang sedang sibuk dengan tugasnya masing-masing.  Seketika sudut bibirnya naik ke atas kala melihat pak Imron dan dua satpam yang sedang duduk di salah satu pos yang ada di dekat pagar.

Dengan cepat, Meta melangkah ke dapur. Mengambil beberapa kudapan dari dalam kulkas lalu meletakkannya di atas piring.
Kedua tungkainya melangkah menuju pos satpam dan menyapa ketiga pria yang lebih tua darinya itu.

"Lho? Mbak Meta ada apa ke sini?" Tanya pak Imron ketika melihat istri majikannya itu meletakkan sepiring berisi kudapan di atas meja. Bukan hanya pak Imron, tapi dua satpam yang bertugas siang itu juga saling berpandangan dengan wajah bingung.

Meta mendudukkan tubuhnya di salah satu kursi kosong yang ada di dekatnya, dengan memasang senyum ramah menatap ketiga pria paruh baya ini.

"Meta kesepian pak, di dalam cuma sendiri." Jawabnya dengan wajah murung, pak Imron bisa merasakan  kesepian yang dirasakan oleh majikannya ini.

"Biasanya jam segini, Meta makan siang sama ayah di warung dekat pelelangan. Setelahnya main sama Khao di pantai sambil nyari kerang." tanpa diminta, Meta bercerita dengan pandangan menerawang.

Manik yang selalu bersinar itu tampak redup dan sayu, mengundang rasa iba ketiga pria di dekatnya.

"Mbak Meta biasanya jam segini anterin makanan buat si bos. Kok sekarang nggak Mbak?" Tanya satpam yang memiliki janggut. Meta menggeleng seraya tersenyum tipis.

IM SORRYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang