1

2.5K 173 9
                                    

***

Ditempat yang penuh debu abu-abu, ia tinggal, mereka tinggal, kami tinggal, kita tinggal. Tidak ada yang benar-benar putih. Tidak juga ada yang benar-benar hitam. Abu-abu memenuhi daratan, sebagiannya bersembunyi dalam lautan. Kakinya melangkah di atas debu abu-abu, sol sepatunya yang mulai tipis menjerit ingin berhenti. Mereka lelah, ia dan sepatunya.

Tidak ada satupun lampu yang menyala ketika ia datang. Bangunan dua lantai tempatnya tinggal gelap pekat sebab tidak seorang pun yang menyalakan lampunya. Dengan tangannya yang lelah, ia menarik ke atas pengait pintu gerbang rumahnya. Pagar dan gerbang itu hanya setinggi pinggangnya, terbuat dari besi tua yang dicat hitam pekat. Dengan santai, ia dorong pintu gerbangnya, membuat satu bagian kecil dari gerbangnya terbuka lantas ia bisa masuk ke pekarangan sekaligus tempat parkirnya.

Pekarangan termasuk tempat parkir itu bisa menampung dua mobil SUV. lantainya dibuat dari semen, yang sengaja dibuat bermotif kotak-kotak untuk jalur air, agar tidak terlalu menggenang. Namun hari ini tidak ada mobil di sana. Ia tidak punya mobil, ia pun tidak punya tetangga yang tinggal seatap dengannya— belum.

Ia adalah Lisa, pemilik toko buku di ujung jalan. Ia menempati lantai satu bangunan itu, hidup sendirian sementara kedua orangtuanya pindah ke desa dan menghabiskan uang pensiun mereka di sana. Pagi tadi, pemilik gedung mengabarinya, kalau lantai dua gedung itu sudah disewa seorang petugas di kepolisian. Namun sepertinya sang penyewa belum datang, rumahnya masih gelap.

Begitu tiba di rumahnya, ia duduk di teras kecilnya, di sebelah pintu utama rumahnya. Dalam gelap gadis itu duduk lantas mengeluarkan ponselnya. Tanpa earphone, ia memutar lagu yang akhir-akhir ini disukainya. Lantas menyalakan sebatang tembakaunya tanpa memikirkan apapun. Melamun, di kursi kayunya adalah rutinitasnya setiap kali pulang.

"Hei, Lisa!"

"Hei, Jennie!" balasnya, menyapa seorang editor majalah yang tinggal rumah sebelah. Sapaan itu juga salah satu rutinitasnya.

Begitu lagu ketiga berputar, suara klakson terdengar. Sebuah motor dengan tangki bensin di depan melambat, pengemudinya melambaikan tangan pada si gadis berambut pendek di teras rumahnya. Melambaikan tangan pada pria pengemudi motor itu, juga salah satu rutinitas Lisa sepulang kerja.

Dua batang tembakaunya habis di lagu kelima, kini sudah saatnya ia masuk, mandi lalu makan malam dan bersantai di atas sofa. Namun mobil yang berhenti di depan rumahnya, membuatnya menoleh. Pengemudi mobil SUV hitam itu keluar dari mobilnya, berjalan memutar agar bisa mencapai gerbang. Ia buka pengait gerbangnya, membuka gerbang kecilnya, kemudian mendorong bagian yang panjang agar mobilnya bisa di bawa masuk ke tempat parkir, sekaligus pekarangan tanpa tanah dan rumput.

"Halo. Aku penghuni lantai dua, siang tadi aku sudah- Lalisa?" langkah pria itu terhenti di tengah-tengah tempat parkir. Gadis yang berdiri di depan pintu dan baru saja menyalakan lampu teras yang membuatnya berhenti.

Keduanya terdiam. Membisu, menatap satu sama lain dengan canggung. Sepotong film panjang yang dipercepat, berputar dalam kepala masing-masing. Mengulang lagi sebuah cerita yang ingin keduanya lupakan. Melihat kembali pria yang telah ia hindari selama bertahun-tahun, membuat Lisa mengingat lagi kenangan buruknya beberapa waktu lalu. Rambutnya ditarik, tubuhnya di dorong dan ia dituding tanpa diberi kesempatan untuk membela diri.

Adegan yang berputar dalam film cepat Jiyong, bukan lah adegan yang sama. Dalam tatapan canggung mereka, pria itu mengingat bagaimana dirinya setelah ditinggalkan. Unit apartemen kecil di dekat kantor polisi terasa begitu hampa dalam ingatan Jiyong. Pakaian wanita yang berserakan di lantai, membuat dadanya nyeri. Botol air mineral kosong, juga bungkus-bungkus camilan di meja makan, membuat matanya panas, hampir berair. Jam berdetak dalam ingatan Jiyong, terasa seperti jarum yang menusuk dadanya, berkali-kali, di tempat yang sama. Setiap kali melihat apartemen itu, Jiyong menyadari sesuatu— kebahagiaannya telah pergi.

Mobil kedua dan ketiga datang, memecah kecanggungan di antara mereka. Satu persatu orang di dalam mobil itu keluar dan Lisa langsung masuk ke dalam rumahnya begitu ia melihat wanita yang menjambaknya turun dari mobil ketiga. Mereka masih bersama— pikir gadis itu. Buru-buru meninggalkan pintu depan rumahnya, melewati pintu kamar tidur di sisi kanan dan kiri lorong kecilnya kemudian mendudukan tubuhnya di atas sofa ruang tengah. Duduk di sana tanpa mengatakan apapun. Duduk di sana sembari membayangkan apa yang akan terjadi selanjutnya. Apa kah ia harus pergi lagi sekarang? Apa kah ia harus melarikan diri lagi? Kini ia merasa resah.

"Oppa! Ini rumah barumu?" tanya seorang wanita, namanya Victoria— gadis yang membuat Lisa langsung mengunci pintu rumahnya beberapa detik lalu.

"Kau juga datang?" balas Jiyong, menatap satu persatu teman ibu kotanya yang malam ini berkunjung ke rumah barunya. "Rumahku di lantai dua. Naik saja, aku akan memarkir mobilku dulu," susul pria itu, menatap seorang pria yang mengemudikan mobil dibelakangnya, meminta pria itu juga memasukan mobilnya ke garasi rumah.

Tiga pria dan empat wanita kemudian melangkah naik. Melewati pintu rumah Lalisa, berjalan ke sudut kemudian naik melalui tangga di sisi kanan rumah itu. Sedang Jiyong juga seorang temannya memasukan mobil mereka ke garasi, memastikan ada cukup ruang di jalan kecil depan rumah agar tidak ada kemacetan di sana.

Jiyong masih duduk di kursinya begitu ia selesai memarkir mobilnya. Pria itu bersandar, menatap jendela gelap yang tertutup tirai di depannya. Kalau bentuk rumah mereka sama, tirai itu pasti tirai di kamar tidur Lisa— Jiyong membayangkannya, melihat Lisa yang baru saja bangun tidur membuka tirai itu.

Pintu mobil sebelah terbuka, kemudian kembali tertutup. Menyadarkan Jiyong dari lamunannya. Membuat Jiyong ikut turun dari mobilnya kemudian melangkah menuju rumahnya di lantai dua. Sepintas, pria itu menoleh ke arah pintu rumah Lisa. Menatap pintu kayunya sembari berharap gadis itu ada di sana.

"Maaf, aku tidak bisa menahan Victoria untuk tidak ikut ke sini. Dia sedih karena kau dipindahkan ke kota kecil ini lalu memaksa ingin melihat rumah barumu," ucap Yongbae, teman yang tadi memarkir mobilnya di sebelah milik Jiyong. "Tapi kelihatannya kota ini tidak buruk. Aku melihat banyak toko di ujung jalan tadi, sebelum masuk ke sini. Rumahmu juga tidak buruk, justru lebih kelihatan manusiawi daripada apartemen lamamu. Lupakan Lisa, hiduplah dengan baik sekarang," sarannya, yang justru membuat Jiyong jadi luar biasa ragu. Bagaimana ia bisa melupakannya kalau gadis itu justru tinggal di bawah rumahnya dan jadi tetangganya.

***

Life DisorderTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang