***
Sudah satu bulan Jiyong tinggal bertetangga dengan mantan kekasihnya, dengan wanita yang pernah merubah hidupnya, dengan orang yang amat dirindukannya. Pria itu sudah merasa puas, dengan hanya bertetangga. Kwon Jiyong cukup tahu diri. Ia tahu dimana posisinya dan ia tahu kalau ada seulas garis tak terlihat yang tidak boleh dilewatinya.
Karenanya pria itu menahan diri. Berpura-pura kalau ia tidak lagi peduli akan masa lalu mereka. Berpura-pura tidak lagi merasa bersalah. Berpura-pura tidak lagi menaruh hati pada wanita itu. Dengan senyum yang terulas di wajah tanpa dosanya, pria itu memberanikan dirinya untuk menegur dan menyapa Lisa, seolah masa lalu bukan halangan bagi mereka untuk hidup sopan bertetangga.
Tapi berpura-pura adalah sesuatu yang melelahkan. "Kau masih mengingatku?" Jiyong amat menyesal karena menanyakan pertanyaan bodoh itu ketika mereka bertemu, setelah lima tahun lamanya putus hubungan. Kenapa ia harus meminta wanita itu mengingatnya? Mengingat pria yang sudah melukainya dengan begitu keji. Jiyong tidak habis pikir dengan isi hatinya sendiri.
Sayangnya, semua perasaan itu tidak lebih menyiksa daripada rasa bersalahnya. Bertetangga dengan Lisa selama tiga puluh hari, membuatnya tahu bagaimana wanita itu hidup. Selain pergi ke tokonya, wanita itu tidak melakukan banyak hal lainnya. Rutinitasnya monoton, tidak seperti Lisa yang Jiyong kenal. Sikapnya yang tenang dan terkesan dingin juga tidak sama dengan Lisa yang dulu. Bahkan senyumnya, yang masih cantik, tidak lagi terasa sama. Apakah Lisa berubah setelah semua kejadian itu? Jiyong jadi khawatir. Lalisa yang kini jadi tetangganya, membuat Jiyong khawatir karena kebiasaan-kebiasaan barunya. Meski pria itu tahu ia tidak boleh begitu.
Pagi ini Jiyong bangun lebih awal karena Mino baru saja mengabarinya kalau mereka punya kasus baru. Pria yang baru saja bangun itu buru-buru keluar dari rumahnya. Dengan hanya membawa jaketnya selepas membasuh wajah untuk menghilangkan kantuk, ia berlari ke mobilnya. Tapi di saat yang sama Lisa keluar dari rumahnya. Membuat Jiyong menahan langkahnya sebelum ia menabrak wanita itu.
"Kau akan pergi ke suatu tempat?" tanya Jiyong, melihat Lisa yang tidak biasanya membawa banyak barang saat keluar— sebuah koper, dengan tas jinjing lain di atasnya. "Naiklah, biar ku antar," tawar pria itu, melupakan sejenak pekerjaannya.
"Tidak, aku hanya-"
"Kemana kau mau pergi? Aku punya waktu untuk mengantarmu sebentar," tuturnya, enggan membiarkan Lisa pergi dengan bawaan berat itu sendirian. Tanpa diminta, pria itu sudah lebih dulu meraih koper Lisa, memasukannya ke dalam mobilnya lantas membukakan pintu untuk Lisa, di kursi penumpang bagian depan. "Atau kau mau duduk di belakang? Kalau tidak nyaman duduk di sebelahku?" tanya Jiyong kemudian, sebab Lisa tidak juga melangkah mendekat.
"Aku hanya akan pergi ke tokoku, tidak perlu diantar," ucap Lisa, yang tetap naik ke kursi penumpang bagian depan kemudian duduk tenang di saja.
"Ah? Apa aku baru saja bersikap berlebihan?" canggung pria itu, tetap menutup pintunya kemudian.
Jiyong baru saja akan berjalan memutar, akan masuk ke kursi pengemudi, juga membuka gerbang rumahnya. Namun langkahnya terhenti, sebab di balik gerbang rendah itu, Victoria sudah berdiri.
"Oppa, kau pindah ke sini untuk tinggal bersamanya? Kalian benar-benar menjijikkan."
"Kenapa kau ke sini?" lelah Jiyong, sebab Victoria datang tanpa menghubunginya lebih dulu dan selalu begitu selama lima tahun terkahir, sejak Jiyong memutuskan untuk mengakhiri hubungan mereka. "Sekarang aku sibuk, pergilah-"
"Sibuk berkencan? Sepagi ini?" potong Victoria namun Jiyong enggan menjawabnya. Pria itu menarik Victoria untuk kembali masuk ke dalam taksinya, lantas meminta taksi itu pergi meski Victoria mulai berteriak. Gadis itu ingin tetap berada di sana, melihat sendiri apa yang akan Jiyong lakukan dengan tetangganya tadi.
Begitu Jiyong masuk ke dalam mobilnya, selepas mengusir Victoria, Lisa justru membuka pintu di sebelahnya. Gadis itu akan tetap di rumah, ia tidak bisa pergi kemana pun sekarang. Bagaimana kalau Victoria mengikutinya? Bagaimana kalau kejadian lima tahun silam terulang kembali? Bagaimana kalau untuk sekali lagi ia dipermalukan di depan umum? Lisa enggan mengulangi kejadian yang sama sekali lagi.
"Maaf," ucap Jiyong, tepat sebelum Lisa melangkah turun. "Tentu saja aku tidak ingin kejadian waktu itu terulang lagi. Tapi, kalau kejadian itu terulang lagi, aku akan melakukan bagianku dengan benar. Aku tidak akan membiarkanmu terluka lagi," janji pria itu, di saat Lisa turun dari mobilnya kemudian mengambil kembali kopernya di kursi belakang.
"Harusnya begitu," sinis Lisa. "Karena kali ini aku tidak melakukan kesalahan apapun," susulnya, menutup pintu mobil Jiyong, lantas membawa koper serta tasnya masuk kembali ke dalam rumah.
Jiyong ingin menahan gadis itu. Ia ingin bicara lebih lama. Ia ingin mendengar lebih banyak. Ia ingin memperbaiki vas kacanya yang sudah pecah. Ada banyak yang ia inginkan, namun satu panggilan dari Song Mino membuatnya harus menahan diri. Menyadarkannya, kalau ia tidak bisa mendapatkan semua yang diinginkannya.
Dengan banyak helaan nafas, Jiyong mendatangi lokasi kejadian yang Mino kirimkan. Kali ini di sebuah rumah semi basement. Tempat yang kumuh berjarak lima belas kilometer dari Apartemen Alamanda. Korbannya seorang pria dengan keadaan yang sama seperti Alice. Tubuhnya digantung, dengan tangan dan jemari terjahit benang warna-warni. Juga sama seperti sebelumnya, tidak ada sedikit pun darah di lokasi kejadian itu. Pelakunya berhasil masuk tanpa penolakan, melakukan kejahatannya lantas masih punya waktu untuk bersih-bersih dan meninggalkan lokasi itu.
"Bukan kah ini seperti kasus pembunuhan berantai? Detail ini tidak pernah diberitakan," komentar Mino, membicarakan pergelangan tangan dan jemari yang dijahit.
"Cari seseorang yang bisa menghubungkan mereka berdua," jawab Jiyong, meninggalkan rumah semi basement itu lantas berjalan keluar, menjauhi keramaian.
Dengan sedikit gusar, pria itu menekan nomor telepon yang sudah lama ia hafal. Sudah lima tahun ia terus menekan nomor telepon itu, tapi tidak pernah sekalipun meneleponnya— kecuali saat ia mabuk. Kali ini pria itu benar-benar meneleponnya, Lalisa, terlebih dalam keadaan sadar. Namun sayang sekali, nomor telepon itu tidak lagi terdaftar. Lisa sudah lama mengganti nomor teleponnya.
"Detektif Kim," tahan Jiyong, setelah beberapa menit ia melamun, mencoba mencari alasan kenapa nomor telepon itu tidak dapat lagi dihubungi. Ia tahan Kim Jisoo yang baru saja lewat di depannya, baru saja menemani tim forensik kembali ke mobil mereka.
"Ya, Ketua Tim?" jawab Jisoo. "Hasil forensiknya baru bisa di-"
"Kau bilang kakakmu punya toko di dekat Apartemen Alamanda?"
"Ya, toko roti di dekat persimpangan, setelah pintu masuk Utara, kenapa memangnya?"
"Di sebelahnya ada toko buku?"
"Ya. Toko buku bekas."
"Kau punya nomor telepon pemilik toko buku itu?"
"Punya-"
"Kirim nomor teleponnya padaku, sekarang. Ada tempat yang harus ku kunjungi, telepon aku setelah hasil forensiknya keluar," potong Jiyong, lantas melangkah menjauhi Jisoo. Pria itu masuk ke dalam mobilnya, lalu melaju meninggalkan lokasi kejadian.
"Wah... Dia juga jatuh cinta pada Lisa? Sempat-sempatnya dia berencana menggoda seorang wanita di saat-saat seperti ini. Bajingan. Awas saja kalau dia memakai kasus ini untuk menggodanya!" cibir Jisoo, namun tetap menelepon Lisa, bertanya lebih dulu pada pemilik nomor teleponnya sebelum ia mengirim nomor telepon itu pada orang lain.
***