***
Lisa naik ke lantai dua, ke rumah Jiyong. Malam sudah larut dan Lisa baru saja pulang tiga puluh menit lalu. Gadis itu mandi, mengeringkan rambutnya kemudian naik dan menekan bel pintu rumah Jiyong. Pemilik rumahnya sedikit terkejut, sebab Lisa datang dengan sebuah koper di sebelahnya. Bagaimana cara wanita itu membawa koper besarnya naik? Jiyong penasaran namun ia lebih penasaran lagi pada alasan Lisa datang. Tidak mungkin wanita itu ingin menginap di rumahnya.
"Tunggu di sini, sebentar-"
"Di sini ada printer?" tanya Lisa, menyela Jiyong yang hendak masuk. Mungkin ia ingin merapikan rumahnya sebelum menerima tamu, atau menyembunyikan beberapa barang yang bisa membuat seseorang salah paham.
"Tidak."
"Papan tulis?"
"Tentu saja tidak ada."
"Kalau begitu turun lah. Bantu aku mengambil papan tulisnya."
"Apa yang sedang kau rencanakan?" tanya Jiyong, sementara gadis yang ia ajak bicara berbalik meninggalkannya, kembali turun tanpa menjelaskan alasannya datang. "Kau akan bekerja di rumahku? Kenapa di rumahku?" tanyanya, mengekori Lisa setelah ia memasang ganjalan pintu.
"Kau bilang tidak boleh bekerja di toko. Lalu aku harus bekerja di rumahku? Dan membiarkanmu juga anak buahmu seenaknya masuk ke rumahku? Enak saja. Aku bahkan tidak digaji, kenapa aku harus melakukannya?" balas Lisa, membuka pintu rumahnya, memasang ganjalan pintu lantas membiarkan Jiyong masuk ke dalam rumahnya.
Dari pintu, Jiyong melewati sebuah lorong kecil, panjang lorongnya tidak sampai tiga meter. Di sebelah kanan lorong itu ada sebuah pintu, pintu untuk kamar tidur, begitu juga di sebelah kiri. Namun kedua pintunya tertutup rapat, jadi Jiyong tidak bisa melihat isinya. Lisa punya banyak sepatu, juga tas jinjing yang dipajang di etalase kaca bak sebuah toko pakaian. Di lorong yang tidak seberapa besar itu, ada dua lemari kaca setinggi pintu. Satu lemari kaca untuk sepatu dan satu lainnya untuk tas, seolah mereka sengaja di pajang untuk menyambut tamu yang datang.
"Dulu kau tidak pernah memakai sepatu hak tinggi, kau punya banyak sepatu, sekarang," komentar Jiyong, perlahan-lahan melangkah masuk ke dalam rumah yang tidak pernah ia kunjungi. Namun ia di abaikan.
Melangkah lebih dalam, sama seperti di rumahnya. Jiyong bisa melihat ruang tengah dengan perabotan standar, sofa dan meja, juga nakas dan TV. Kemudian ia melihat dapur juga meja makan, lalu setumpuk pakaian kotor— pakaian yang tadi Lisa pakai— di depan mesin cuci.
"Sekarang kau mengendarai motor?" tanya Jiyong, saat matanya menemukan sebuah helm hitam di atas meja makan. Ia merasa familiar dengan helm itu, namun memutuskan untuk mengabaikannya. Produsen helm itu tentu tidak hanya membuat hanya satu helm di pabriknya. Wajar saja kalau Lisa punya helm yang sama dengan helm orang lain.
"Jangan banyak tanya, bawa saja papan tulis di kamar depan," balas Lisa, yang justru berdiri di depan TV, mengecek ponsel yang tengah ia isi dayanya di sana. Tanpa memberitahu Jiyong pintu mana yang harus ia buka, Lisa justru memakai ponselnya untuk menelepon seseorang. Menyuruh Jiyong menyelesaikan sendiri pekerjaannya. "Oppa, aku butuh bantuanmu," ucap Lisa, membuat Jiyong menoleh namun gadis itu justru berbalik, memunggungi Jiyong sebab bukan Jiyong yang ia ajak bicara. "Bisa kau datang ke rumahku? Atau aku yang ke rumahmu. Ayo bertemu. Tidak, tidak perlu malam ini. Besok pagi pun bisa, di rumahku atau di toko. Besok pagi di toko? Oke. Oppa tahu kuncinya kan? Langsung masuk saja kalau aku belum datang. Hm... Terimakasih, selamat malam," sibuk Lisa dengan teleponnya.
Sedang pemilik rumahnya sibuk dengan ponselnya, Jiyong membuka pintu yang salah, pintu sebelah kanan. Pria itu membuka pintu sebelah kanan, kamar tidur. Jiyong seharusnya langsung menutup kembali pintu itu. Namun ia justru menahan nafasnya sendiri, tanpa sadar. Gadis itu tidak seutuhnya berubah, nilai Jiyong.
Ranjang dengan dua bantal dan dua guling, selimut yang berantakan, penyejuk ruangan yang dibiarkan menyala dengan banyak pengharum ruangan lama yang hampir tidak pernah diambil, setumpuk pakaian di atas kursi yang belum dilipat, beberapa botol air mineral juga bungkus kosong keripik kentang, setumpuk novel di lantai, meja rias yang berantakan, pintu lemari yang di biarkan terbuka dengan isinya yang berantakan, sebuah tiang untuk menggantung mantel yang penuh dengan berbagai jenis pakaian juga hanger. Kacau, kamar itu benar-benar kacau dan Jiyong sama sekali tidak merasa asing dengan keadaannya.
"Dia menghabiskan waktunya di sini," gumam Jiyong, yang kini beralih ke kamar lainnya. Di balik pintu sebelah kiri, alih-alih sebuah kamar, justru ada ruang kerja di sana. Di ruangan itu ada sebuah papan tulis, dengan sebuah meja kerja kosong dan dua meja belajar yang menghadap ke jendela. Ada satu nakas di sudut ruangannya, sebuah lemari pendek dengan printer, mesin kopi, satu nampan kecil gelas, sebuah rak camilan juga sebuah pemutar CD di atasnya.
Sementara Jiyong mengamati papan tulisnya, membaca beberapa rumus kimia yang tertulis di atasnya, Lisa masuk ke dalam ruangan itu, hendak mengambil printernya dan membawa benda itu ke rumah Jiyong. "Kau mengajar? Bimbel?" tanya Jiyong, mengomentari isi papan tulis yang ada di sana.
"Tidak, itu milik temanku," santai Lisa, masih melepas kabel printer-nya, untuk membawanya ke lantai dua. "Cepat bawa itu ke rumahmu. Aku sudah lelah," suruh Lisa kemudian.
Tidak lama setelahnya, Lisa meletakan kopernya di lorong rumah Jiyong. Wanita itu juga meletakkan printer-nya di sana, sementara Jiyong melangkah masuk dan mendorong papan tulisnya ke ruang tengah. Lisa enggan untuk masuk lebih jauh. Karenanya ia hanya menunggu di luar tanpa melepaskan sandal karetnya. Setelah menaruh papan tulis tadi di ruang tengah, Jiyong kembali keluar, bertanya kenapa Lisa tidak membawa barang-barangnya masuk.
"Siapkan saja tempat kerjanya. Besok setelah makan siang aku akan datang untuk bekerja. Aku pergi, ini sudah larut," ucap Lisa, alih-alih menjawab pertanyaan Jiyong.
"Kopermu?"
"Isinya berkas kasus dan beberapa buku, biarkan saja di sana," jawab gadis itu. Ia ucapkan selamat malam pada Jiyong, kemudian berlari turun dan masuk ke dalam rumahnya sendiri. Ia tinggalkan Jiyong di depan pintunya seorang diri.
"Bagaimana dengan hatiku? Hatimu? Sudah tidak ada lagi? Tentu saja tidak, hentikan sekarang Kwon Jiyong," gumam pria itu, dengan suara yang cukup pelan hingga Lisa yang tengah menuruni tangga tidak dapat mendengarnya.
***