***
Masih di malam yang sama, meski kini jam sudah menunjuk pukul tiga. Jiyong masih punya banyak waktu untuk menahan Jin. Ia punya 72 jam untuk menahannya di ruang interogasi. Ia bisa meluangkan sedikit waktunya untuk mengantar Lisa pulang sampai ke ruang tengah rumahnya. Sampai gadis itu duduk di sofanya kemudian menghela nafasnya.
"Beritahu aku semua yang kau ketahui," pinta Jiyong kemudian. Ia berdiri di depan Lisa namun sama sekali tidak menyinggung tentang raut wajah Lisa, naik turunnya perasaan wanita itu, bahkan status mentalnya.
Lisa tidak pernah membicarakannya masalah mentalnya. Lisa tidak pernah menjelaskan alasannya pergi menemui Rose. Lisa tidak pernah menyinggung depresi yang dialaminya hingga Jiyong merasa sama sekali tidak boleh mengungkitnya.
Jiyong takut. Ia terlalu takut untuk bertanya. Ia takut, jawaban Lisa akan menghancurkan perasaannya. Ia takut perasaan yang Lisa rasakan akan meledakan hatinya. Ia takut, dirinya tidak bisa menghadapi kenyataan di depan wajahnya. Sebisa mungkin, ia menunda untuk tahu tentang masalah Lisa. Seperti ia menunda mengakhiri hubungannya dengan Victoria.
"Sejak kapan kau tahu dia pelakunya?" tanyanya kemudian, sebab Lisa tetap diam, seolah ia adalah penjahat yang baru saja di dorong masuk ke ruang interogasi.
"Hari pertama kami bertemu," ucap Lisa, yang tentu saja mengejutkan Jiyong. "Hari pertama kami bertemu, dia berdiri di depan tokoku. Dari luar dia menatapku, melihatku seolah-olah aku adalah ikan kecil dalam akuarium besar miliknya. Kami bertukar tatap, lama sekali... Saat itu aku tahu. Ah... Dia salah satu tersangka lima tahun lalu. Apa dia mengenaliku? Aku penasaran. Jadi aku bertanya padanya, apa yang dia lihat, apa yang dia inginkan. Dia bilang, dia ingin buku yang sedang aku baca. Kurasa dia tidak mengenaliku. Dia datang lagi untuk bukunya. Lalu aku tidak melihatnya lagi. Tapi ternyata dia membuntutiku. Dia mengikuti ke rumahku, dia juga mengikutiku ke toko. Dia mengamatiku. Kenapa dia melakukannya? Bukankah dia tidak mengenaliku? Lalu aku tahu kalau dia berkencan dengan Victoria. Ah... Dia ternyata mengenaliku. Tidak mungkin Victoria tidak pernah membicarakanku dengannya. Victoria sangat menyukaiku, karena aku membuat videonya banyak dilihat orang. Dia punya banyak pengikut karenaku. Dia mengenaliku, dia tahu aku detektif yang lima tahun lalu menyelidikinya. Tapi dia tidak pernah membicarakannya. Dia justru ingin bekerja di tokoku. Kalau dia membuntutiku, kalau dia mengamatiku, dia pasti tahu tentangmu. Jadi ku buat kalian bertemu. Sebab aku tidak punya bukti apapun. Hanya firasat, karena orang yang lima tahun lalu ku selidiki mulai menempel padaku. Apa yang kalian bicarakan saat bertemu?"
"Ini dan itu-"
"Kenapa aku harus mengatakan semua isi kepalaku kalau oppa merahasiakan milikmu?"
"Apa lagi yang mungkin kami bicarakan? Tentu saja aku menyuruhnya berhenti, sebelum Victoria mengetahuinya dan ada masalah baru lagi."
"Lalu apa yang dia katakan?"
"Aku akan menunggu alasanku harus mengundurkan diri. Kalau kau terburu-buru, beritahu Victoria. Agar aku segera punya alasan untuk pergi dari sini," jawab Jiyong, membuat Lisa langsung tahu alasan Jiyong begitu marah setelah melihat pesan di freezer kimchi.
Untuk beberapa menit, keduanya terdiam. Lisa melihat ke arah jemari Jiyong. Ia lihat buku-buku jari pria itu terluka, seolah baru saja memukuli sesuatu yang keras. Lisa tidak memperhatikannya tadi. Sebab ia terlalu sesak dengan pikiran-pikirannya sendiri. "Hari ini... Awalnya aku hanya tidak ingin pulang. Aku hanya berfikir kemana aku harus pergi karena tidak ingin pulang tapi aku bosan duduk di toko. Lalu Mino oppa bilang kalau oppa menangkap Jin dengan bantuan Victoria. Tiba-tiba saja aku jadi kesal dan tidak ingin bergerak. Maaf, aku pasti membuatmu khawatir. Aku tiba-tiba saja marah lalu... Hanya ingin merajuk?"
"Kalau aku tidak datang, kau akan tetap duduk di sana?"
"Mungkin? Aku berencana begitu karena ternyata Mino oppa memanggil Hanbin, bukan memanggilmu. Selama ini dia baik sekali, tapi sepertinya dia juga bisa membuatku kesal."
"Kau yang lebih dulu membuatnya kesal."
"Tapi bukan salahku kalau aku tidak menyukainya!" bentak Lisa, membuat Jiyong justru tersenyum, mengulurkan tangannya untuk mengusap helai rambut Lisa.
Ia lantas menggeser duduknya jadi di atas sofa, bersebelahan dengan wanita itu. Akhirnya, gadis itu kembali. Jiyong lebih khawatir saat Lisa hanya diam seperti sebelumnya. Diam dengan banyak aura kelam di sekitarnya, membuat Jiyong khawatir kalau aura kelam itu akan menenggelamkan Lisa.
"Kau sudah merasa lebih baik?" tanyanya kemudian.
"Hm... Oppa akan segera pergi?"
"Hm..."
"Bukti apa yang oppa punya?"
"Surat kaleng di freezer kimchi dan alat pembunuhan lima tahun lalu."
"Bagaimana? Kita tidak menemukan alat itu lima tahun lalu," tanya Lisa, sedikit terkejut namun refleks membuatnya menoleh ke meja makan. Mencari helm yang ada di sana, memastikan helmnya tetap ada di sana.
"Apa yang kau cari?" tanya Jiyong. "Kau bilang Jin dan Junho bersaudara. Jadi aku mengganti pendekatannya. Junho bukan pelakunya, tapi saksi. Dan sekarang jadi kaki tangan, karena ketahuan menyembunyikan senjata pembunuhnya, di rumahnya."
"Jadi kasusnya selesai?"
"Hampir," angguk Jiyong. "Aku mungkin akan memanggilmu sebagai saksi, karena kau bekerja dengan Jin. Kau tidak keberatan?" tanyanya kemudian, membuat Lisa perlahan menganggukkan kepalanya, meski sebenarnya gadis itu enggan pergi ke kantor polisi. "Kalau begitu, aku harus kembali ke kantor polisi sekarang. Besok pagi ku suruh seseorang menjemputmu, oke? Kita buat keterangan saksinya besok pagi."
"Jangan Mino," geleng Lisa, yang hanya Jiyong tanggapi dengan sebuah anggukan kecil.
"Ah! Dan aku tidak pernah meminta bantuan Victoria. Hari ini aku membuntuti Jin dan kebetulan saja dia pergi ke rumah Victoria. Kebetulan juga aku bisa menangkapnya di sana. Aku belum tahu apa yang terjadi tapi mereka berdua bertengkar. Untuk sementara aku menangkapnya karena tertangkap basah memukuli kekasihnya. Victoria terluka saat aku menerobos masuk, jadi mungkin dia akan sedikit salah paham hari ini."
"Oppa pasti senang."
"Kau cemburu?"
"Kesal."
***