***
Segalanya berjalan sangat lancar. Terlalu lancar seolah ada seseorang yang telah mengaturnya. Setelah sibuk beberapa hari di kantor polisi, Jiyong hanya perlu mengirim Jin ke kejaksaaan, ke pengadilan agar bisa segera diberi hukuman. Selama prosesnya, Jin ditahan, ia dimasukkan dalam sebuah sel tahanan, bergabung dengan narapidana lainnya. Bergabung dengan penjahat-penjahat lainnya.
Selama prosesnya, seseorang menjenguk Jin. Menemui pria itu, kemudian tersenyum dengan sebuah dinding kaca di antara mereka. Jin terlihat gemetar saat melihat sosok itu, ia gugup juga merasa begitu tidak aman. "Aku sudah melakukan semua yang kau minta," tutur Jin, menahan getar tubuhnya. Sejak hari mereka bertemu, Jin selalu gemetar, ngeri. Tentu pria itu takut, sebab sosok di hadapannya bertingkah seolah ia mampu melakukan apapun. "Jauhi Victoria. Aku sudah melakukan semuanya. Aku sudah mengakui semuanya, jangan sentuh Victoria," tuturnya, setengah memohon.
"Kau sangat mencintainya, uhm? Bagaimana rasanya memukul orang yang kau cintai?" tanyanya kemudian, membuat Jin ingin sekali merobek mulut cantik itu. Ia jauh lebih mengerikan daripada kelihatannya dan ia jauh lebih menakutkan saat tersenyum— setidaknya bagi Jin.
"Aku memukulnya karenamu-"
"Tidak," geleng sosok itu. "Kau memukulnya karena memang begitu dirimu. Seperti kau memukul wanita itu, seperti kau menghancurkan tangannya, jemarinya, sangat mengerikan. Tapi kau yang memberiku ide. Haruskah aku berterimakasih?" tuturnya, membuat Jin luar biasa marah hingga ia memukul kaca tebal di depannya, berharap pukulannya cukup keras untuk bisa menghancurkan dinding kaca sekaligus wajah cantik wanita di depannya. Hingga Jin akhirnya di bawa pergi oleh seorang sipir yang bekerja di sana.
Sementara itu, di tempat lain, Lisa baru saja pulang ke rumahnya. Gadis itu turun dari taksi, membawa sebuah tas belanja berisi beberapa botol minuman keras. Siang ini ia terlihat murung, padahal semua orang menunjukkan yang sebaliknya. Baik Jiyong, Jisoo maupun Mino, mereka senang karena bisa menangkap Jin, si penjahit.
"Kau baru kembali? Darimana?" tanya Jiyong, yang juga baru saja tiba di rumah, baru saja mandi, baru saja menganti pakaiannya setelah beberapa hari menginap di kantor polisi, menyelesaikan laporan-laporan juga proses transfer kasusnya. Pria itu berdiri di lantai dua, melihat Lisa yang baru saja datang dari rumahnya.
"Berbelanja," jawab Lisa. "Oppa baru kembali? Kapan?"
"Sekitar lima belas menit yang lalu. Aku ke rumahmu tapi tidak ada orang di sana, jadi aku pulang. Boleh aku berkunjung?"
"Lain kali-"
"Kenapa? Suasana hatimu buruk? Kau sedang ingin merajuk? Kenapa?" tanya Jiyong, berlari kecil, menuruni anak tangga di depan rumahnya kemudian menghampiri Lisa yang sudah lebih dulu duduk di terasnya. Sama seperti terakhir kali Jiyong melihat Lisa, gadis itu memeluk lututnya sendiri meski ia duduk di kursi. Ia meringkuk, mengecil seolah ingin kembali jadi fetus. "Ada apa? Siapa yang bisa tahu isi hatimu kalau kau tidak mengatakannya? Beritahu aku, apa yang membuat suasana hatimu jadi buruk? Padahal kita sudah menangkap penjahat yang lima tahun lalu kita cari. Kau tidak senang?"
"Junho oppa," gumam Lisa kemudian. "Aku sedih karena Junho oppa. Aku sudah melakukan hal yang benar, 'kan?" tanyanya, pada pria yang berdiri di hadapannya, sedikit membungkuk agar tatapan mereka bisa bertemu.
Lee Junho tidak melakukan apapun. Kesalahannya adalah menyembunyikan senjata pembunuh yang Jin gunakan lima tahun lalu. Senjata yang punya DNA dari beberapa tetes darah Jin juga darah korban. Junho bahkan tidak tahu kalau Jin melakukan sederet kejahatan lainnya. Junho tidak tahu kalau Jin membunuh dan menjahit kembali tangan-tangan korbannya.
"Junho oppa hanya ingin melindungi saudaranya, keluarganya," gumam Lisa. "Dia tidak melukai siapapun, tapi aku mencurigainya. Padahal dia sudah sangat baik padaku," susulnya, hampir menangis. "Aku tahu dia melakukan kesalahan. Aku tahu dia tidak seharusnya menyembunyikan senjata pembunuhnya. Kalau Jin bisa ditangkap lima tahun lalu, Alice, Jisoo dan Nancy tidak akan mati. Aku tahu semuanya, tapi hatiku tetap sakit. Aku sudah melakukan hal yang benar 'kan? Tapi kenapa hatiku masih sakit?" tanyanya, dengan begitu sedih, dengan begitu putus asa.
"Seseorang tidak bisa benar-benar putih, atau benar-benar hitam, Lisa," jawab Jiyong, sembari menangkup pipi gadis di depannya dengan kedua tangannya. Ia usap lembut pipi Lisa dengan ibu jarinya, membuat gadis itu mendongak untuk menatap wajahnya. "Kali ini Junho melakukan kesalahan. Kau harus mengakuinya. Ingat saat aku bertengkar dengan Seunghyun hyung karena dia mencurigaiku menerima suap? Karena itu, karena aku ingin mempercayaimu, aku harus menyelidikinya dan membuktikan kau tidak bersalah. Dia bilang begitu lalu mengecek segalanya, sampai berapa gelas kopi yang kuminum dalam sehari, dia mengeceknya. Kau juga sedang melakukannya, pada Lee Junho. Melihatmu sedih begini, aku tahu kalau kau ingin mempercayai Junho, karena itu kau menyelidikinya. Tapi jangan terlalu sedih, Junho hanya melakukan kesalahan, bukan pembunuhan. Biarkan dia membayar atas kesalahannya, biarkan dia dihukum, dengan begitu dia bisa melanjutkan hidupnya."
"Kalau aku yang ada di posisi Junho oppa, dan oppa yang ada di posisiku, kau akan melakukan hal yang sama?"
"Hm..." Angguk Jiyong. "Tapi daripada mabuk-mabukan di siang hari seperti ini, aku mungkin akan menemuinya. Kau melakukan kesalahan, kau harus dihukum karena kesalahanmu, kau harus menyesali kesalahanmu, tapi aku tidak akan meninggalkanmu, kira-kira begitu yang akan ku katakan padamu, kalau kau ada di posisi Junho."
"Kenapa? Apa kau Dewa? Kenapa melakukan itu? Kenapa oppa tidak akan meninggalkanku kalau aku melakukan kesalahan?"
"Karena selama aku mengenalmu, kau selalu jadi orang yang baik, setidaknya untukku."
"Padahal aku meninggalkanmu karena kesalahanmu."
"Dan itu sangat menyiksa. Aku merasa bersalah tapi tidak bisa melakukan sesuatu untuk menebus kesalahanku atau setidaknya untuk mengurangi rasa kecewamu. Karena itu, aku tidak ingin kau merasakannya. Kalau kau melakukan sebuah kesalahan padaku, akui kesalahanmu dan minta maaf, aku akan memaafkanmu."
Jiyong mencoba menghibur Lisa. Ia bahkan menawarkan diri untuk menemani mengunjungi Junho. Mereka berbincang di teras rumah sampai hari mulai jadi gelap dan sebuah mobil berhenti di depan rumah itu. Victoria yang datang, bukan untuk Lisa tapi untuk Jiyong. Jadi mereka berdua naik ke lantai dua, pergi ke rumah Jiyong tanpa Lisa. Victoria datang, berkunjung ke rumah Jiyong dan memohon pada pria itu untuk menyelidiki ulang kasusnya. Jin tidak mungkin melakukan semua pembunuhan keji itu, tolong selidiki ulang kasusnya— mohon Victoria, berlutut di depan Jiyong, di dalam rumah pria itu.
"DNA-nya ada di senjata pembunuhan lima tahun lalu," ucap Jiyong, berkali-kali menjelaskan alasannya menangkap Jin. "Dia pelakunya. Dia sudah membunuh empat orang, bagaimana aku bisa membantu membebaskannya? Dia bahkan mengancamku dengan bekerja di toko Lisa-"
"Lisa lagi! Lisa lagi! Apa sekarang kau buta karenanya?! Jin tidak mungkin membunuh! Jin tidak mungkin melakukannya! Kau bahkan tidak mengenal Jin! Dia tidak mungkin melakukan semua hal keji itu! Ku mohon... Oppa... Selidiki ulang kasusnya. Kau pasti salah. Pasti ada kesalahpahaman di sini. Jin tidak mungkin melakukannya. Aku berani jamin Jin tidak mungkin membunuh seseorang!"
"Empat orang, bukan seseorang," tegas Jiyong. "Apa yang membuatmu sangat yakin dia tidak melakukannya? Apa kau punya bukti kalau bukan dia pelakunya? Victoria, sadarlah... Jin pelakunya, dia pembunuh, dia orang jahat," ucapnya, meyakinkan Victoria sembari meraih bahu wanita itu, memintanya untuk bangkit, memintanya untuk menyadarkan dirinya sendiri. Victoria harus sadar agar bisa berfikir jernih. Victoria harus bisa menerima kenyataan kalau kekasihnya bukan orang baik.
"Orang-orang membenciku... Karena mereka tahu aku berkencan dengan Jin," bisik Victoria. "Hidupku hancur... Sekarang, hidupku hancur..."
***