***
Sembari duduk di lantai, bersandar pada tepian ranjang, Jiyong menatap kosong pada botol obat di tangannya. Botol dengan plastik bening itu punya banyak warna di dalamnya, dengan butir-butir berbeda bentuk tapi punya fungsi yang sama. Ponsel Lisa juga masih tergeletak di sebelahnya, dengan layar gelap yang justru membuat Jiyong mengingat setiap detail isi pesan tadi. Ibu Lisa sudah meninggal dan ia tidak tahu itu. Lisa terlelap dengan obat tidurnya dan ia pun tidak mengetahuinya. Jadi apa yang selama ini Jiyong tahu tentangnya? Hanya roti kesukaannya dan hobinya membaca buku? Malam ini pria itu benar-benar marah, sekali lagi pada dirinya sendiri.
Seandainya mati bisa memperbaiki segalanya, Jiyong tidak keberatan meski ia harus bertemu si penjahit dan mati di tangannya. Tapi sayangnya, ia tidak punya jaminan. Tidak ada jaminan kalau kematian Jiyong bisa membuat Lisa merasa lebih baik. Perlahan-lahan pria itu hancur, melebur bersama lantai kamar Lisa, menatap sekeliling kamarnya yang berantakan sama seperti kamar gadis itu saat mereka masih bekerja di Metro. Saat itu kamar Lisa berantakan karena mereka tidak punya waktu untuk membersihkannya. Tapi kali ini Jiyong merasa kamar itu sama berantakannya dengan hati Lisa.
Orang bilang kita bisa mengenali seseorang dari rumahnya. Seperti Jiyong kini mengenali Lisa— gadis yang sangat mempesona di bawah sinar matahari tapi hancur sendirian di dalam kamarnya. Sepanjang sisa malam itu Jiyong tidak bisa tidur. Ia tetap duduk di sana, melamun tanpa melakukan apapun. Tubuhnya ada di sana tapi jiwanya pergi melihat kenang-kenangnya bersama Lisa beberapa tahun lalu. Merindukan mereka kemudian menyesali lagi keputusannya. Apa semua orang yang berselingkuh merasakan rasa bersalah yang luar biasa menyakitkan seperti ini? Kalau iya, kenapa mereka terus mengulanginya? Jiyong tidak bisa memahaminya.
Jiyong melamun sampai ia tidak menyadari kalau Lisa juga matahari di luar perlahan-lahan terbangun. Lisa membuka matanya dan langsung menemukan bagian belakang kepala Jiyong juga sedikit bahunya. Pria itu tidak bergerak, membuat Lisa lantas khawatir, panik hingga ia bergegas meraihnya, hampir menjambak rambut Jiyong.
"Oppa masih hidup?" gumamnya, lantas menarik tangannya dari kepala Jiyong dan perlahan-lahan bangun dari tidurnya. "Aku mimpi buruk," ceritanya, mengatakan kalau ia melihat kematian Jiyong dalam mimpinya. Ia mengatur nafasnya yang sempat memburu, duduk di ranjang kemudian menanyakan keberadaan Victoria, juga bertanya kenapa Jiyong ada di kamarnya dan sejak kapan pria itu ada di sana.
Sembari memperhatikan Lisa yang sedang merapikan rambutnya, Jiyong tersenyum. "Kau senang kan karena aku masih hidup?" tanyanya kemudian, membuat Lisa mendelik, menatap heran pada wajah Jiyong yang terlihat lelah.
"Kenapa? Apa ada sesuatu yang salah?" tanyanya, sedikit canggung dengan sikap Jiyong.
Melihat pria itu ada di dalam kamarnya saja sudah terasa aneh. Dan kini pria itu tersenyum, menatap padanya dengan raut kelelahan seolah sesuatu yang buruk sudah terjadi. "Aku tidak ingin menebak-nebak, aku juga tidak ingin salah paham. Bisakah kau menjelaskan semuanya? Sebelum aku memikirkan lebih banyak hal buruk lainnya?" tanya Jiyong, perlahan menunjukan apa yang ia temukan semalam.
"Bagaimana oppa menemukannya? Oppa membongkar isi tasku?" tanya Lisa hampir marah.
"Tidak sengaja, jatuh dari tasmu saat aku membawanya masuk. Darimana kau mendapatkan semuanya?"
Jiyong sangat tenang. Terlalu tenang hingga Lisa bergidik karenanya. Buru-buru gadis itu turun dari ranjang. Ia duduk di sebelah Jiyong lantas meraih botol obatnya dari tangan pria itu. Seandainya Jiyong berteriak, memarahinya dan menuntut penjelasan atas pil tidur itu, mereka pasti bertengkar dan itu akan lebih mudah bagi Lisa. Ia tidak perlu menjelaskan, ia hanya perlu marah karena Jiyong membuka tasnya, membuka privasinya, kemudian mengusir pria itu. Tapi Jiyong terlalu tenang. Jiyong yang terlalu tenang, justru membuat Lisa kehilangan keberaniannya.
Sometimes, we use love as a weapon.
"Tunggu sebentar," pinta Lisa, yang justru buru-buru bangkit, membawa obatnya pergi ke dapur, menyembunyikannya agar Jiyong tidak membuang obat-obatan itu setelah mendengar jawabannya. Masih sembari gugup, gadis itu menenggak air mineral dari lemari esnya. Ia terlalu gugup, terlalu terburu-buru membuatnya tersedak air itu kemudian batuk.
Mendengar itu Jiyong mendekat. Ia hampiri Lisa sebab khawatir gadis itu menenggak semua obatnya. Beruntung karena tidak ada tanda-tanda gadis itu menelan obatnya, jadi Jiyong hanya perlu membantu menepuk-nepuk punggung wanita itu. "Aku tidak akan melakukan apa yang menurutku benar, aku akan mengikuti keputusanmu, apapun itu. Jadi beritahu aku semua yang sudah terjadi, hm?"
"Ayahku meninggal tidak lama setelah aku mengundurkan diri," ucap Lisa, menceritakan sebagian kisah yang bisa ia ceritakan. Akhirnya mereka duduk di meja makan, bersebelahan, dengan sebotol air mineral dalam genggaman Lisa— untuk menahan emosinya yang selalu meledak setiap kali harus membicarakan orangtuanya.
"Ayahku sakit, tapi tidak ada yang memberitahuku. Katanya, mereka tidak ingin membuatku khawatir jadi mereka tidak memberitahuku. Aku marah tapi sepertinya keluargaku tidak bisa belajar dari pengalaman. Mereka juga tidak memberitahuku saat ibuku sakit. Mereka baru mengabariku setelah ibuku meninggal. Ku pikir orangtuaku membenciku, keduanya tidak ingin melihatku sebelum mati. Aku hancur, tapi Hanbin mengenalkanku pada seorang temannya, Roseanne Park. Dia mengingatku, aku juga mengingatnya, lalu kami mulai berteman. Dia banyak membantuku, dia jadi dokterku. Tapi di saat yang sama aku merasa Rose saja belum cukup, jadi aku membuat janji dengan beberapa psikiater lain. Aku bertemu beberapa psikiater dan mereka meresepkan obat tidur untukku. Karena aku berhari-hari tidak bisa tidur. Dari sana aku dapat semua obat itu. Tapi aku tidak pernah meminumnya— kecuali malam ini. Aku hanya menyimpannya dan itu membuatku merasa lebih nyaman, lebih tenang," cerita Lisa, hampir menangis sebab ia mengingat kembali suasana di pemakaman orangtuanya. Lisa ingat bagaimana marahnya ia di sana, bagaimana rasanya hatinya hancur sendirian di sana.
"Saat itu aku mengingatmu. Aku ingat saat oppa menangis di pemakaman orangtuamu. Saat oppa hancur karena tidak bisa datang lebih cepat. Ah... Jadi begini rasanya? Jadi ini yang oppa rasakan waktu itu? Aku terus memikirkannya sepanjang pemakaman. Harusnya aku menghubungimu, mungkin dengan begitu aku bisa lebih kuat. Tapi... Itu tidak terfikir olehku. Aku tidak ingat harus menghubungi siapa saat tahu orangtuaku meninggal. Aku ingin pergi bersama mereka, hanya itu yang ku pikirkan saat itu," ceritanya, dengan lengan Jiyong yang melingkar di tubuhnya, mendekapnya, memeluknya tanpa mengatakan apapun.
***