12

536 115 14
                                    

***

Pagi ini Jiyong tiba di kantor polisi seperti biasanya. Namun sedikit berbeda, Mino kelihatan sangat sedih saat ia baru datang. Pria itu bahkan tidak menyapa Jiyong, ia hanya duduk di tempatnya, seolah tengah menonton rekaman CCTV namun siapapun tahu kalau pikiran pria itu sedang berkelana entah kemana. Hanya Jisoo yang bangkit dari kursinya dan menyambut kedatangan Jiyong pagi ini.

"Ini," ucap Jiyong, memberikan buku catatan Lisa pada Jisoo untuk dianalisis. "Ada apa dengannya? Baru dicampakkan?" bisiknya kemudian, menanyakan Mino yang kelihatan sangat kacau di kursinya. Padahal hari masih pagi, meski Jiyong datang sedikit terlambat hari ini.

"Gadis yang disukainya, Lisa, ternyata sudah berkencan dengan orang lain," jawab Jisoo, juga berbisik. "Lisa berkencan dengan seorang produser, tadi pagi Mino melihat mereka berciuman," susulnya, yang kemudian menawarkan segelas kopi pada Jiyong juga Mino. Jiyong menerima tawaran itu, tapi tidak dengan Mino.

Mengatakan kalau ia sibuk, Mino menolak untuk diajak bicara. Ia hanya akan bekerja hari ini, benar-benar bekerja agar bisa melupakan pemandangan yang tadi di lihatnya— Lisa mencium pipi Bobby, dan pria itu memeluknya, keduanya terlihat begitu manis, begitu bahagia hingga Mino merasakan nyeri yang luar biasa di dadanya. Lalu sialnya, kini Mino membagi rasa nyeri itu dengan Jiyong, tanpa ia sadari. Jiyong bahkan punya janji akan bertemu dengan Lisa siang ini. Bagaimana ia bisa menemui gadis itu? Mustahil ia bisa tenang setelah menemuinya nanti— itu yang Jiyong rasakan sampai waktu akhirnya berlalu dan ia harus menemui Lisa di restoran depan kantor polisi, juga harus mengantar wanita itu ke lokasi kejadian.

Sampai jam tiga sore, Jiyong merasa seperti berada dalam air. Dadanya luar biasa sesak seolah tidak ada oksigen yang bisa ia hirup. Di awal pertemuan mereka saat makan siang, Jiyong terlalu banyak bicara. Ia pikir, kalau ia bicara suasana bisa jadi lebih nyaman. Setidaknya mereka bisa jadi teman atau kenalan, kalau teman masih terlalu mewah. Namun sikap berlebihan Jiyong, justru membawa mereka dalam suasana yang lebih canggung.

Keduanya seharusnya hanya membicarakan pekerjaan. Keduanya seharusnya tidak menyinggung hubungan sama sekali. Dengan begitu mereka bisa bicara. Kini, setelah Jiyong menunjukkan perasaannya, Lisa jadi terasa semakin jauh. Gadis itu menghindar, seolah ia amat membenci Jiyong. Seolah ia membenci semua yang Jiyong lakukan.

"Dia bilang, dia tidak mengharapkan apapun dariku," ucap Lisa, kepada Hanbin yang seperti biasa, sibuk membuat kopi. Lisa kembali ke tokonya, sebab hari masih terlalu terang untuk pulang ke rumah. "Hari ini aku bertemu dengan mantan kekasihku, dan dia bilang dia tidak lagi mengharapkanku. Bajingan," cibir wanita itu, tanpa menyebut nama pria yang ia bicarakan.

"Sebenarnya apa yang kau inginkan? Kenapa kau terus mendorong pria itu, tapi tetap marah saat dia memilih untuk menjauh?" tanya Hanbin, yang sudah berkali-kali mendengar cerita yang sama tentang si mantan kekasih. "Kalau kau masih menyukainya, berhenti bersikap ketus padanya, berhenti menyalahkannya-"

"Aku akan pergi bersama orangtuaku kalau aku tidak menyalahkannya. Apa itu tidak apa-apa?" potong Lisa, seolah mengancam Hanbin agar pria itu berhenti menyalahkannya. "Aku tidak tahu harus bagaimana, hidupku rasanya sudah lama berhenti."

"Selama ini kau sudah hidup dengan baik, hidupmu tidak berhenti."

"Ya. Karena aku hanya melakukan hal yang sama setiap hari. Aku hanya mengulangi apa yang kemarin kulakukan, terus begitu setiap hari. Tapi orang itu muncul di depanku, bersama semua kenangan dan ingatan yang selama ini berusaha ku lupakan. Rasanya ada sosok diriku yang lain, berdiri di belakangku dan terus menarikku mundur."

"Kau ingin aku membuatkanmu janji dengan Rose lagi? Dia mungkin bisa membantumu lagi?" tawar Hanbin, mengingatkan Lisa pada teman psikiaternya, dokter yang dulu juga pernah membantu Lisa, saat Lisa kehilangan ayahnya.

Lisa menggeleng. Menolak menganggu wanita yang sudah sibuk dengan urusan dan pasien-pasiennya.

"Kalau begitu, bagaimana dengan Junho hyung?"

"Aku memang berencana bertemu dengannya nanti malam," jawab Lisa. "Aku benar-benar benci diriku yang tidak bisa mengendalikan perasaanku sendiri. Saat isi hati dan kepalaku berbeda, aku bisa memilih untuk mengikuti isi hatiku. Tapi kali ini, hatiku terbelah jadi dua dan mereka bertolak belakang. Aku tidak bisa mengendalikannya. Kadang-kadang aku mencari alasan untuk melihatnya, tapi saat dia ada di dekatku, aku mendorongnya menjauh. Aku tidak akan terkejut kalau dia tiba-tiba lenyap dari hidupku. Lama-kelamaan dia pasti akan muak. Ah! Kurasa dia sudah muak sekarang, dia tidak lagi mengharapkanku."

Sampai pukul enam, Lisa terus berada di sisi Hanbin. Ia terus mengikuti pria itu. Terus membicarakan perasannya yang berubah-ubah. Lisa merindukan Jiyong, ia rindu kenangannya bersama pria itu. Namun di saat yang sama, gadis itu tidak ingin rasa sakit yang sama terulang kembali.

Ia ingin mengingat lebih banyak kenangan yang membahagiakan tapi seperti dua mata koin, kenangan buruk datang bersamaan dengan kenangan indahnya. Setiap kali ia mengingat rasanya pelukan Jiyong, gadis itu juga mengingat rasanya dijambak Victoria. Di saat ia mengingat rasa cinta yang Jiyong ungkapan, ia juga mengingat hinaan yang Victoria lempar padanya. Dan yang paling menyakitkan, ayahnya sakit setelah melihat video yang Victoria rekam lima tahun lalu.

Video saat Victoria menghajar Lisa di kantor polisi, menjambak, meludahinya juga mengatainya pelacur lima tahun lalu, sempat terkenal— meski kini sudah tidak lagi ditonton orang— dan saat itu ayahnya menonton video itu. Sang ayah yang sedih, khawatir juga marah kemudian sakit lalu meninggal. Ibunya yang amat sedih, tidak lama kemudian menyusul, membuat Lisa jadi sebatang kara, tidak lagi punya tempat untuk pulang.

Sore datang dan Lee Junho datang. Pria itu datang setelah Bobby pergi, membuat keduanya tidak sempat bertemu. Ia menyapa Hanbin di tokonya, lantas membawa Lisa pergi bersamanya. Mereka tidak pergi jauh, hanya ke rumah Junho, bertemu dengan empat ekor kucing peliharaan pria itu.

Tanpa ada pembicaraan apapun, Lisa berkunjung, duduk di ruang tengah rumah pria itu kemudian mengusap Johnny, seekor kucing gemuk yang mendekat penasaran padanya. Kira-kira satu jam, Junho membiarkan Lisa bermain dengan kucing-kucingnya. Pria itu sempat mandi, sempat juga mencuci beberapa pakaian juga piring di rumahnya selama Lisa bermain. Bahkan Junho sempat terlelap sebelum Lisa memanggilnya karena mesin cucinya sudah selesai bekerja.

Selepas menjemur pakaiannya, Junho bertanya, makan malam apa yang Lisa inginkan. "Aku tidak tahu," begitu jawab gadis itu. "Aku tidak tahu apa yang ingin aku makan. Aku tidak tahu apa yang ku inginkan. Aku tidak tahu apa yang benar-benar aku butuhkan sekarang. Aku tidak ingin dia pergi, aku tidak ingin dia berhenti menyukaiku, tapi aku membencinya. Apa yang harus aku lakukan? Aku ingin dia tetap berdiri di sana meski aku mendorongnya berulangkali. Tapi kurasa, sekarang dia mulai lelah," tuturnya, bereaksi pada sebuah pertanyaan sederhana.

"Siapa? Tapi kenapa kau berfikir kalau dia sudah lelah sekarang?" tanya Junho kemudian, membuat Lisa menganggukan kepalanya untuk menjawab pertanyaan itu.

"Tidak tahu, rasanya begitu."

"Biasanya, perasaan manusia cenderung membesar-besarkan. Contohnya saat seseorang melihatmu sambil menyipitkan matanya, kau mungkin berfikir dia sedang menilaimu, membencimu, meremehkanmu. Tapi sebenarnya dia hanya berusaha untuk membaca tulisan di kausmu. Kau tidak bisa membaca pikiran orang lain, jadi jangan hanya menebak dengan perasaanmu, lalu membuat dirimu sendiri sedih."

***

Life DisorderTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang