***
Setelah pagi itu, Jiyong menemui seorang Jaksa yang bertugas untuk kasus pembunuhan si penjahit. Pria itu datang ke kantor kejaksaan untuk mendengar bagaimana hasil penyelidikan ulang yang dilakukan kejaksaan. Seorang jaksa wanita yang bertugas untuk kasusnya, Jung Yoomi namanya, gadis kaya yang lebih sering berada di kantornya daripada rumah mewahnya sendiri.
"Aku belum bisa membuat keputusan," ucap sang jaksa ketika Jiyong datang menemuinya. "Ini kasus pembunuhan berantai, dilihat dari caranya membunuh, kurasa bukan dia pelakunya. Pembunuhannya terlalu mengerikan. Tapi semua bukti mengarah padanya. Aku harus hati-hati. Aku akan menyelesaikannya, pelan-pelan," tuturnya.
"Sebanyak apapun aku berfikir, hanya Jin yang bisa melakukannya," ucap Jiyong, di dalam ruang kerja Jaksa Jung. "Kasus pembunuhan lima tahun lalu, hanya timku dan pelakunya yang tahu detail kasusnya. Jari-jari yang dipotong, kemudian pergelangan tangan yang dipotong, hanya kami yang tahu. Tidak mungkin ada seorang peniru, kecuali seseorang dari kami membocorkannya."
"Tidak ada kemungkinan berkas kasusnya bocor?"
"Tidak ada. Stasiun TV dan produser dramanya menutup-nutupi kasus ini dari publik. Mereka tidak bisa mentolerir kerugian lainnya, jadi berita yang muncul hanya sebatas penyerangan di lokasi syuting kepada seorang staff dramanya, polisi sedang mencari kasusnya dan semua artis yang terlibat aman. Anda tahu, penonton jauh lebih peduli pada si artis terkenal daripada staff-staffnya. Staffnya penting, tapi kalau untuk dibicarakan, mereka tidak semenarik si artis. Staff bisa diganti tapi wajah utamanya pasti sulit diganti. Jadi, kasus ini hanya dibicarakan satu atau dua minggu lalu menghilang begitu saja."
"Lalu, detektif yang bertugas, apa mereka tidak mungkin-"
"Kau ingin menuduhku dan rekan-rekanku? Wah... Aku tidak percaya akan mendengar ini. Tidak. Tidak ada seorang pun detektif yang menyelidiki kasus ini, yang mungkin jadi pelakunya. Kami menghabiskan waktu berbulan-bulan untuk mencari pembunuhnya. Kami bekerja lebih keras daripada biasanya untuk kasus ini."
Mereka terus berbincang, setengah berdebat sampai akhirnya Jung Yoomi mengatakan kalau Jin bersikap aneh setiap kali mereka bertemu. Seolah ia ingin mengatakan sesuatu yang sialnya tidak bisa ia katakan. Seolah ada rahasia juga pesan-pesan tersembunyi yang dikatakannya setiap kali bertemu. "Dia bisa berakting tapi tidak bisa menipu. Dia punya motif untuk kasus pertama. Karena korban mempermalukannya, memerasnya, mengganggunya. Tapi untuk kasus kedua, ketiga dan keempat, dia bilang hanya ingin."
"Lalu apa yang salah dengan hanya ingin? Dia psikopat. Psikopat tidak butuh alasan untuk membunuh korbannya."
"Ada apa denganmu? Kau sangat ingin dia jadi pelakunya? Kau bukan pelakunya, 'kan? Seolah kau sangat ingin ia segera dipenjara untuk menggantikanmu," balas Yoomi, bersikap seolah mereka adalah teman dekat yang tidak akan tersinggung dengan pertanyaan-pertanyaan menuduh seperti itu. "Tidak semua pembunuh berantai itu psikopat, juga tidak semua psikopat bisa jadi pembunuh. Psikopat itu penyakit dan pembunuhan itu kejahatan, mereka berhubungan tapi tidak sesederhana itu, kau tahu?"
"Aku memang ingin dia segera dihukum," angguk Jiyong. "Tapi bukan karena aku pelakunya. Aku ingin segera mengundurkan diri, begitu kasus ini selesai," jawab Jiyong yang setelahnya bercerita kalau ia ingin melakukan hal lain— hidup biasa dengan gadis yang ia sukai. Hidup biasa, tanpa perlu mengejar penjahat. Hidup biasa, tanpa perlu menginap di mobil karena sedang mengintai target. Hidup biasa, bangun pagi, bertemu dengan gadis itu, kemudian pergi tidur lagi. Hidup biasa seolah ia punya segudang uang yang bisa dia hamburkan setiap hari.
Beberapa kali Jiyong menemui Jung Yoomi. Ia pun pergi menemui Victoria sesekali, menenangkan si gadis yang luar biasa sedih sebab kekasihnya terus mendapat berbagai penghinaan atas perbuatannya. Seolah hidup di akuarium kaca, Jin dan seluruh keluarga bahkan kekasihnya terekspos media. Dihina dan dicaci, diasingkan semua orang. Bahkan Victoria harus terus menghapus tulisan "kekasih pembunuh" di pintu rumahnya, tulisan yang selalu muncul seperti jamur meski sudah dibersihkan berulang kali. Victoria, mendapatkan kembali apa yang pernah ia berikan pada Lisa— kebencian publik.
"Anehnya... Kita bertiga sudah mendapatkan hukuman masing-masing karena masalah lima tahun lalu," ucap Lisa, tentu saja kepada Jiyong yang duduk di sebelahnya, di toko buku miliknya, di atas sofa sembari menatap kosong pada dinding polos di depan mereka. "Bolehkah aku menganggap kejadian ini hukuman untuk Victoria? Karena dia sudah... mempermalukanku? Apa aku pantas mengatakannya?"
"Maaf, tapi aku tidak bisa mengiyakannya," balas Jiyong. "Satu-satunya kesalahan kalian adalah bertemu dengan pria yang salah. Bertemu denganku, bertemu dengan Jin. Tapi bagaimana pendapatmu? Apa Jin benar-benar pelakunya? Jaksa Jung masih ragu, padahal ini sudah dua bulan sejak aku mengirim kasusnya ke kejaksaan."
"Kenapa dia ragu?"
"Reaksinya untuk kasus pertama, kedua, ketiga dan keempat berbeda. Dia bisa mengakui kasus pertama dengan sangat jelas. Tapi tidak untuk kasus kedua, ketiga dan keempat. Seolah dia tidak melakukan tiga kasus terakhir. Jin bisa berakting, tapi dia tidak bisa berbohong, begitu kata Jaksa Jung," jawab Jiyong. "Kasus ini melelahkan. Aku juga kasihan pada Victoria dan keluarganya. Mereka tidak melakukan kesalahan apapun selain mengenal Jin."
"Kalau oppa yang ada di posisi Victoria, apa yang akan oppa lakukan?"
"Kurasa reaksiku akan sama seperti Victoria. Marah, sedih, kecewa, lalu menyangkal semuanya, kemudian kembali marah, lalu takut? Bagaimana seorang yang kupikir sangat aku kenal ternyata bisa melakukan semua itu? Tentu aku akan sangat takut membayangkannya. Membayangkan tangan yang sering ku sentuh ternyata juga memotong tubuh orang lain," jawabnya, sembari meraih jemari Lisa untuk menyentuhnya, menggenggamnya. "Untungnya sekarang tanganmu hanya dipakai untuk membaca buku dan membeli kopi, hanya untukku, iya 'kan?" godanya, membuat Lisa langsung menarik tangannya, mengatakan kalau dirinya merinding karena mendengar godaan Jiyong barusan.
Jiyong tertawa, sedang Lisa hanya berdecak, berjalan menjauh kemudian berdiri di depan salah satu rak bukunya. "Uhm... Hari ini aku ingin membaca Fear Street, Switched," ucap Lisa mengalihkan pembicaraan mereka, menghindari Jiyong juga godaan jahilnya. Yang entah bagaimana selalu membuat dada Lisa tergelitik.
"Kau ingin membaca? Hanya membaca? Tidak berkencan denganku? Padahal hari ini aku libur," balas Jiyong, juga mengomentari toko yang tidak berpengunjung itu.
"Ia bertukar tempat dengan pembunuh," ucap Lisa, justru membacakan paragraf di bagian belakang sampul buku pilihannya. "Di hutan Fear Street, ada dinding tua tempat orang dapat saling memindahkan pikirannya ke dalam tubuh orang lain. Itulah yang terjadi pada Nicole dan Lucy. Sekarang Lucy ada dalam tubuh Nicole dan Nicole ada dalam tubuh Lucy. Menakjubkan! Tapi ternyata itu jebakan bagi Nicole! Karena Lucy menggunakan tubuh Nicole untuk meloloskan diri dari pembunuhan yang telah dilakukannya!"
"Fiksi," komentar Jiyong. "Kau pikir manusia bisa benar-benar bertukar tubuh? Itu tidak mungkin."
"Tapi membuat jebakannya mudah dilakukan. Seperti kata Jaksa Jung, Jin mungkin menutup-nutupi pembunuh sebenarnya? Tanpa sihir manusia bisa melakukannya, iya 'kan?"
***