***
Besok sidang terakhirnya. Jantungnya berdegup sangat cepat hari ini. Ia gugup, juga khawatir. Bagaimana kalau aku dijatuhi hukuman seumur hidup? Bagaimana kalau aku dijatuhi hukuman mati? Ia takut. Ia juga cemas. Namun pria yang duduk di depannya— berjarak sebuh meja dengan dinding kaca diantara mereka— justru tersenyum dengan santainya. Kwon Jiyong sama sekali tidak kelihatan cemas, padahal besok adalah sidang terakhir Lisa.
"Ini rahasia," ucap Jiyong sengaja menggantung kalimatnya, menarik rasa penasaran gadis dengan pakaian tahanan di depannya. "Hukuman seumur hidup atau hukuman mati, kau tidak akan mendapatkan salah satu dari mereka."
"Kenapa memberitahuku? Itu curang-"
"Bukankah pengacaramu harusnya sudah memberitahumu tentang itu?" tanya Jiyong. "Apa ini? Pengacaramu tidak mengatakan apapun?"
"Aku tidak bertemu dengannya, aku menolak bertemu dengannya," geleng Lisa. "Dia menyebalkan. Aku kliennya, aku yang membayarnya, tapi dia lebih mendengarkan Bobby, dan Jisoo, dan Hanbin. Setiap kali kami bertemu dia selalu bilang— tapi Bobby memintaku untuk mengurangi hukuman anda sebanyak mungkin. Akan lebih baik kalau anda bisa dirawat di rumah sakit saja daripada di penjara. Mereka lebih suka melihatku dibuat benar-benar gila daripada ditahan di sini. Bahkan minggu lalu, Jisoo melarangku makan. Katanya, semakin aku kurus, semakin aku kelihatan sakit, semuanya akan semakin baik. Dia pikir ini drama Doctor Prisoner? Mereka semua ingin membuatku jadi seperti konglomerat yang berpura-pura sakit agar bebas dari hukuman. Apa kata-kataku sulit dimengerti? Aku ingin dihukum. Apa itu sulit dipahami?" tanya Lisa, dengan banyak gerakan tangan yang membantunya mengekspresikan isi hatinya, isi kepalanya.
Jiyong menganggukan kepalanya, terkekeh mendengar cerita Lisa. Lantas pria itu bercerita, kalau tiga hari ini Jisoo dan Mino menerornya. Keduanya ingin Jiyong bicara pada Lisa, keduanya ingin Jiyong membujuk Lisa agar Lisa mau mendengarkan pengacaranya. Agar Lisa mau mengakui penyakitnya sehingga ia bisa mendapatkan keringanan hukuman sebanyak mungkin.
"Jadi, oppa datang untuk membujukku?" tanya Lisa usai ia mendengar cerita itu.
"Tidak, aku datang untuk melihatmu. Berat badanmu turun, kau tidak bisa makan? Makanannya tidak enak?"
"Semua orang mau masuk penjara kalau makanan di sini enak," cibir Lisa. "Aku mulai bekerja beberapa hari ini, ku pikir bekerja di rumah kaca mudah, hanya berkebun, menanam dan menyiram bunga. Orangtuaku berkebun setiap hari setelah pensiun. Tapi ternyata... Augh! Pupuknya berat sekali!"
"Kau bisa mengangkat pria tujuh puluh kilogram. Satu karung pupuk, hanya sekitar lima puluh kilogram."
"Hah! Mudah sekali bicaramu, oppa. Itu hanya satu karung. Kemarin aku harus memindahkan lima belas karung pupuk dari mobil ke gudang. Lalu menyeret pupuknya, langsung memupuk sederet pohon jeruk! Akan menyenangkan kalau pohonnya sudah berbuah. Tapi kami menjual pohon jeruk siap berbuah, bukan buah jeruk. Tidak ada satupun buah jeruknya," oceh Lisa, seolah ia berada di sana untuk ikut kemah musim panas.
Jiyong berharap Lisa bisa merenungi kesalahannya lalu menyesali kejahatannya di sana. Namun merenungi kesalahannya, atau menyesali kejahatannya tidak perlu dilakukan dengan murung sepanjang hari, mabuk-mabukan setiap malam dan depresi sepanjang waktu. Jiyong senang sebab Lisa justru lebih ceria setelah dipenjara. Ia lebih bersemangat di banding beberapa waktu lalu, saat Lisa masih kesulitan mengatasi perasaannya sendiri.
"Disuasana hati seperti ini, sebenarnya aku ingin pergi jalan-jalan. Tapi aku harus menahannya, iya kan?"
"Hm... Tahan. Kau sedang dihukum, jadi meski tidak nyaman, tahan," angguk Jiyong. "Tapi aku tidak menyangka kau bisa menikmati hidupmu di dalam sana. Ku pikir, baru seminggu tinggal di sana, kau sudah menyesali keputusanmu untuk dihukum dan ingin pulang."
Seulas, Lisa tersenyum. Mengatakan kalau dirinya memang ingin pulang ke rumah. Makanan di penjara tidak enak, tidur di lantai beralas matras tipis juga tidak nyaman. Selimutnya bau, selimut yang sudah sangat tua, sangat tidak nyaman tapi malam selalu terlalu dingin. Mati kedinginan atau menahan bau— Lisa harus memilih salah satu. Belum lagi rambut berminyak dan mandi. Ia yang biasa mandi dua kali sehari harus bersabar karena jadwal mandinya berubah jadi dua hari sekali. Ia bahkan tidak bisa mengeringkan rambutnya dengan hair dryer selepas mandi. Mereka punya banyak keterbatasan di sana. Ada segudang penuh ketidaknyamanan di sana.
"Tapi semuanya lebih baik daripada tinggal di rumah dan merasa bersalah," susulnya. "Aku akan lahir kembali di sini. Jadi Lisa baru yang jauh lebih baik. Aku berjanji, oppa akan menungguku, 'kan?"
"Hm... Aku akan menunggumu, aku janji," jawab Jiyong. "Aku baru saja membeli rumah kita. Mungkin aku akan sedikit merenovasinya, agar kau terkejut saat pulang nanti."
"Rumah kita? Maksudmu rumahmu dan rumahku?"
"Hm... Aku membelinya. Aku punya cukup tabungan untuk membelinya, meski harus meminjam sedikit ke bank-"
"Berarti aku diusir? Atau aku harus membayar uang sewanya padamu? Kenapa oppa membelinya? Oppa harusnya membeli rumah yang lebih bagus. Aku yakin harga unit apartemen di Apartemen Daisy lebih murah daripada rumah itu."
"Aku ingin tinggal di sana," jujur Jiyong. "Aku bisa menyewakan lantai dua dan tinggal di rumahmu sampai kau pulang. Lalu setelah kau pulang, aku tetap akan menyewakan lantai duanya jadi kita harus tinggal bersama. Lima belas tahun, Jaksa Jung akan menuntutmu hukum lima belas tahun penjara. Itu tidak akan lama... Aku bisa menunggu."
"Empat belas tahun delapan bulan," balas Lisa. "Tunggu aku empat belas tahun delapan bulan lagi. Aku sudah dipenjara empat bulan."
"Wah ternyata waktu cepat berlalu. Aku akan datang sesering mungkin. Seminggu empat kali? Lima kali?"
"Jangan terlalu sering, nanti aku bosan," canda gadis itu sebelum sipir di penjara itu mengajak Lisa kembali ke selnya. Waktu kunjungannya sudah habis. Mereka bisa saling melihat lagi besok, di pengadilan saat Lisa dijatuhi hukuman lima belas tahun penjara.
***