10

570 127 13
                                    

***

Kwon Jiyong berdiri di ruang tengah rumahnya. Di dekat jendela dengan tirai hitam, pria itu menaruh papan tulisnya. Ia hapus semua tulisan di atas papan itu dengan tisu, kemudian merekatkan satu persatu kertas penting dari koper di sana. Pertama, Desember 2015, ia rekatkan selembar foto korban di sana, menulis tanggal kejadiannya kemudian beralih ke foto kedua, foto korban bernama Alice yang di temukan bulan lalu. Lantas selanjutnya foto korban ketiga, yang tersenyum lebar di depan kamera. Foto ketiga korban itu tersenyum pada Jiyong, namun sang detektif tidak membalas senyuman mereka. Raut serius membuat pria itu terlihat begitu dingin.

"Jihyo, Alice, Jisoo, siapa yang melakukan semua ini pada kalian?" tanya Jiyong, bicara pada foto-foto tadi dan memikirkannya sepanjang malam.

Perlahan, Jiyong membuka matanya. Pria itu terlelap di sofanya saat tengah menyusun ulang berkas penyelidikannya. Belum lama Jiyong terlelap di sana dan kali ini pria itu bangun karena bel pintunya yang di tekan. Lisa yang datang, dengan sebuah buku catatan kecil di tangannya. "Hari ini aku ingin pergi ke lokasi kejadiannya lagi. Ada beberapa hal yang perlu aku cek," pinta gadis itu, sembari melirik buku catatannya. Mungkin Lisa sudah menulis rasa penasarannya di sana, agar ia tidak perlu menjelaskan apapun pada Jiyong.

"Ya. Kapan? Sekarang?" tanya Jiyong, menoleh ke dalam rumahnya sejenak untuk melihat jam dinding di dalam.

"Tidak, pagi ini aku ada janji. Aku bisa kapan pun, setelah jam sembilan nanti tapi harus pulang sebelum jam enam sore. Aku ada janji lain jam enam sore."

"Bagaimana dengan malam?"

"Tidak bisa."

"Kalau begitu, besok?"

"Oppa sibuk hari ini?"

"Tidak, hanya penasaran- maksudku, ya aku sibuk, tapi kalau hanya ke lokasi kejadian, aku bisa menemanimu. Jam sebelas, datang lah ke restoran sup di depan kantor polisi."

"Oke, sampai ketemu nanti," angguk Lisa, bergegas berbalik kemudian berlari kecil, meninggalkan Jiyong juga buku catatan yang ia berikan.

Pria itu membuka buku catatannya selepas menutup pintu. Perlahan-lahan ia baca tulisan di atasnya. SEMUA KORBAN SAMA— tulis Lisa, dengan kapital di setiap hurufnya, seolah kalimat itu adalah judul laporannya meski sebagian isinya hanyalah coretan-coretan berantakan yang entah bagaimana justru Jiyong rindukan. Selama mereka bekerja, catatan Lisa, coretan-coretannya, sangatlah berguna. Sesekali Jiyong justru lebih bergantung pada catatan itu daripada laporan forensik dan berkas-berkas lainnya.

"Mereka semua pernah dituntut oleh Good Life Entertainment," tulis Lisa dengan sebuah bintang di awal kalimatnya. "Semuanya di tuntut karena kasus pencemaran nama baik. Tapi tuntutannya dicabut sebelum proses persidangannya selesai. Jihyo di tuntut karena menyebarkan rumor kencan dengan Jin, tapi tuntutannya di batalkan karena permintaan Jin. Alice dituntut atas penghinaan dan fitnah karena dia banyak menulis tentang kebenciannya pada Jin, tuntutannya hanya berakhir dengan membayar denda. Kalau Jisoo, dia dituntut setelah memukul Jin di sebuah kelab malam. Proses tuntutannya baru selesai satu hari sebelum Jisoo meninggal beberapa hari lalu. Jin memaafkan Jisoo, kasusnya dianggap sebagai pertengkaran biasa lalu ditutup setelah mereka berbaikan. Tapi Jihyo dan Alice melakukan hal yang sama pada banyak artis lain, Jin bukan satu-satunya orang yang mereka ganggu," baca Jiyong, mencerna semua pencarian yang Lisa rangkum dalam dua halaman pertama buku catatan seukuran saku itu. Gadis itu lebih banyak memakai tanda panah daripada kata-kata.

"Victoria berkencan dengan Jin- apa ini? Kenapa dia menulis yang ini juga?" sebal Jiyong, buru-buru menutup buku catatan itu dan melemparnya ke sofa. Membayangkan ia harus duduk bersama Jin, Victoria juga Lisa di sebuah meja yang sama— meskipun mejanya adalah meja di ruang interogasi— membuat Jiyong bergidik. Ia tidak ingin lagi berada di antara Victoria juga Lisa sekali lagi. Ia tidak lagi ingin mengingat kesalahannya, karena mengencani Lisa sebelum ia menyelesaikan hubungannya dengan Victoria.

Sedang di toko bukunya, Lisa melihat seorang pria tengah duduk di meja kasir. Sepertinya, tokonya buka lebih awal hari ini, sebab pria yang ia telepon semalam sudah ada tiba di sana lebih dulu. Pria itu Kim Bobby, anak bungsu dari seorang pemilik restoran ayam goreng. Usianya beberapa tahun lebih tua dari Lisa, namun pekerjaan pria itu membuatnya punya banyak sekali waktu luang.

"Oppa, terimakasih untuk semua ayamnya. Aku hampir setiap malam makan ayam karenamu, lama-lama mungkin aku bisa bertelur," ucap Lisa, memeluk pria itu lantas mengecup pelan pipinya. Memang tidak setiap malam, tapi hampir tiga kali dalam sepekan, Bobby meninggalkan beberapa kotak ayam goreng di depan pintu rumah Lisa.

Mino yang pagi ini sengaja datang, beralasan ingin membahas pekerjaan sembari membantu Lisa membuka tokonya lantas melangkah mundur. Ia tidak tahu kalau Lisa ternyata sangat dekat dengan anak dari restoran ayam goreng itu, sangat dekat sampai berani mencium pipinya.

"Telepon aku kalau kau bertelur, akan ku bantu menetaskan telurnya," balas Bobby, setelah ia melepaskan pelukannya dari tubuh ramping Lisa. "Setiap kali ideku habis, entah kenapa kau selalu meneleponku. Kali ini apa yang harus ku lakukan untukmu? Buku seperti apa yang kau inginkan?"

"Tidak," geleng Lisa. "Kali ini bukan membeli buku. Kemarin aku bertemu ibumu. Dia bilang oppa pulang ke sini karena stress dan tidur seharian."

"Aku tidak stress. Itu jet leg, aku baru kembali dari New York. Seorang produser memintaku mengerjakan musik untuk filmnya, sekarang sudah selesai dan aku pulang untuk istirahat. Walaupun ibuku cerewet, setidaknya di sini aku bisa makan dari atas ranjangku."

"Kau baru dari New York? Berapa lama?"

"Dua minggu."

"Lalu siapa yang mengantarkan ayam ke rumahku tiga hari lalu?"

"Keponakanku, rasanya sudah dua bulan aku membayarnya untuk mengantarkan ayam. Dia butuh uang saku tambahan untuk membeli handphone baru, jadi aku memberinya pekerjaan. Kalian tidak pernah bertemu?"

"Tidak, dia selalu sudah pergi, whoos! Cepat sekali dengan sepedanya."

"Ah... Mungkin dia takut padamu," angguk Bobby, sengaja meledek Lisa sementara gadis yang diledek hanya mengangkat bahunya, sama sekali tidak peduli. "Jadi, bantuan apa yang kau butuhkan?"

"Aku butuh karyawan paruh waktu. Tadinya aku ingin memperkerjakanmu, tapi kalau oppa sibuk-"

"Ya! Aku produser musik, bukan pengangguran," protes Bobby, sedang Lisa hanya terkekeh lantas mengatakan kalau ia butuh bantuan Bobby untuk mencarikan pegawai paruh waktu.

"Mahasiswa, anak sekolah, pengangguran, pria atau wanita, penampilan, apapun itu aku tidak peduli. Aku hanya butuh orang untuk menjaga tokoku mulai dari jam delapan pagi sampai jam lima sore. Kalau dia masih kuliah atau sekolah, aku bisa membayar dua orang untuk berganti shift. Aku punya banyak uang. Bahkan uang pesangonku lima tahun lalu masih utuh di rekeningku. Bagaimana? Oppa bisa mencarikannya?" tanya Lisa, yang akhirnya duduk di sofa sementara Bobby masih di meja kasir, memperhatikan seorang pria yang berdiri di trotoar, menatap ke arah toko buku dengan sebagian wajahnya yang tertutup hoodie.

Bobby menanyakan tentang pria itu. Bobby bertanya apa akhir-akhir ini ada seseorang yang menguntit Lisa dan dengan santai gadis itu mengatakan kalau ada banyak pria yang sering mengikutinya. "Orang-orang yang menyukaiku, kadang-kadang memang mengikutiku. Pria dengan hoodie di sana, sudah mengikutiku sejak aku keluar dari rumahku. Tapi jangan khawatir, seorang polisi baru saja pindah ke lantai atas. Dan sepertinya polisi itu tidak punya banyak pekerjaan. Dia sering tinggal di rumah," tenang Lisa, berpura-pura tidak melihat pria dengan hoodie di sebrang jalan sana.

"Untuk apa aku khawatir? Kau pernah mematahkan tangan pencuri di rumahku, dua orang, seorang diri. Padahal mereka punya pisau. Aku masih tidak bisa melupakan kejadian itu, rasanya seperti masuk ke adegan laga di film Scarlett Johansson."

"Maksudmu aku keren kan?"

"Menakutkan."

"Ya! Kau mau dipukul?!"

***

Life DisorderTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang