***
Lisa masih duduk di teras sembari merokok ketika Jiyong pulang. Gadis itu kemudian melambai, seolah ia tengah menyambut kedatangan Jiyong. Meski sebenarnya Lee Junho si pemotor yang lewat, yang Lisa sapa. Selama satu bulan belakangan, biasanya Lisa akan segera masuk setiap kali Jiyong pulang. Dengan tegas gadis itu menghindari mantan kekasihnya. Seolah enggan memberikan harapan, enggan kembali dekat, enggan mengulang kembali adegan-adegan membahagiakan yang pernah mereka lalui.
Tapi malam ini Lisa masih di sana. Ia tetap duduk meski Jiyong sudah melangkah mendekat. Ia buat Jiyong kebingungan. Haruskah ia terus melangkah naik ke lantai dua atau duduk di sebelah gadis itu, sekedar berbincang sepulang kerja. Dan pada akhirnya Jiyong memilih untuk ikut duduk di teras kecil itu, bersama Lisa.
"Apa syarat lainnya? Selain pergi ke kantor polisi," tanya Jiyong, tepat sebelum Lisa bangkit dan meninggalkannya sendirian di sana. Gadis itu sudah bergerak, mengangkat sedikit bokongnya namun kembali duduk seolah sedang menyamankan posisi duduknya.
"Kalau kekasihmu, Victoria, datang dan mengangguku, dua kali, aku akan langsung berhenti dari kasus ini."
"Victoria bukan kekasihku. Dia berkencan dengan orang lain, Jin, aktor, penyanyi, kau pasti sering melihatnya di TV tapi aku janji dia tidak akan mengganggumu lagi," yakin pria itu, lalu memberitahu Lisa kalau ia dan Victoria sudah lama putus. Victoria hanya menghampiri Jiyong, setiap kali ia bertengkar dengan Jin. Sengaja untuk membuat Jin cemburu. Sengaja, agar ia terlihat keren karena berhubungan baik dengan mantan kekasihnya. Sengaja, agar ia punya lebih banyak pengikut. "Ada syarat lainnya?" tanyanya kemudian.
"Jangan menghubungiku kecuali masalah pekerjaan. Jangan menemuiku kecuali masalah pekerjaan. Kecuali sangat mendesak, jangan menemuiku. Suruh Jisoo atau Mino oppa saja. Aku lebih nyaman kalau kita tidak sering bertemu."
"Haruskah aku pindah rumah juga?"
"Aku akan senang kalau oppa bisa melakukannya," jawab Lisa, yang kali ini benar-benar bangkit. Ia sudah selesai dengan pembicaraan itu.
Namun sekali lagi, Jiyong menghentikannya. Pria itu melempar satu lagi pertanyaannya. Ia buat Lisa yang sudah membuka pintu rumahnya kembali terdiam, membisu di tempatnya berdiri. Kenapa Lisa tiba-tiba berubah pikiran?- Jiyong penasaran.
"Karena kasusnya akan dibawa ke Metro kalau oppa tidak mampu menyelesaikannya."
"Kau mengkhawatirkanku? Aku pasti dimarahi kalau membiarkan kasusnya ditransfer ke Metro."
"Tidak. Aku mengkhawatirkan diriku sendiri. Oppa mungkin akan diterima lagi di Metro kalau berhasil menyelesaikan kasus ini. Dengan begitu, oppa bisa lebih cepat pindah dari sini. Tolong jangan buat seseorang yang tidak punya tujuan lain, harus melarikan diri lagi."
Jiyong tetap duduk di sana meski Lisa sudah lama masuk. Pria itu duduk, bersandar pada sandaran kursi kemudian menutup matanya dengan lengannya sendiri. Harusnya Lisa marah saja. Harusnya Lisa memakinya saja. Harusnya gadis itu memukulnya saja. Semua itu pasti akan lebih mudah, setidaknya bagi Jiyong. Ia lebih suka dimarahi, ia lebih suka dimaki atau dipukul, daripada ditinggalkan dan sekarang diusir pergi. Sayangnya, Jiyong tidak punya keberanian untuk mengatakan semua itu.
Jiyong tidak ingat sampai jam berapa pria itu duduk di teras rumah mantan kekasihnya. Lama ia duduk di sana, menyesali keputusannya beberapa tahun lalu. Sampai akhirnya pagi datang dan pria itu harus kembali bekerja. Dalam drama atau film, mungkin hanya butuh beberapa detik untuk menemukan pelaku kejahatannya. Satu episode sepanjang enam puluh menit biasanya cukup untuk menemukan seorang pembunuh berantai. Namun kemudahan itu tidak terjadi pada Jiyong dan timnya yang kekurangan orang— meski tidak lagi karena secara tidak resmi Lisa sudah bergabung di sana.
Hari ini Lisa pergi ke tokonya dengan sebuah tas jinjing yang lebih besar dari biasanya. Ia memerlukan laptopnya untuk bekerja di tokonya. Menjaga toko sembari mempelajari berkas kasusnya. Rasanya gugup, membaca lagi berkas kasus yang sudah lama tidak ia sentuh. Terlebih karena kasus yang akan dikerjakannya sekarang, adalah kasus beku yang dulu ia tinggalkan.
Lima tahun lalu, Lisa tengah menyelidiki sebuah kasus pembunuhan. Korbannya wanita, tewas di toilet wanita dengan tangan dan jemari yang dimutilasi. Leher wanita itu dicekik, namun hasil autopsi mengatakan kalau korban dicekik setelah meninggal. Penyebab kematiannya adalah pendarahan hebat di tangan dan jemarinya, tapi sama seperti dua kasus terakhir, ada usaha yang dilakukan pelaku untuk membersihkan darah itu. Kasus yang terjadi lima tahun lalu terasa amatir, sementara dua kasus terbaru punya kesan yang sebaliknya.
Menjelang sore, Jiyong berkunjung ke toko buku. Dilihatnya setumpuk berkas di atas meja dekat sofa, sedang pemilik tokonya bersantai. Lisa tertidur, di sofa, sembari memegang setengah roti yang sudah dimakan di tangan kanannya dan selembar kertas di tangan kirinya. "Untuk apa dia memasang lonceng di pintu kalau tidak bangun," pelan Jiyong, sengaja mengulurkan tangannya untuk menghentikan lonceng yang berisik di atas pintu. Seolah enggan lonceng itu mengganggu tidur si pemilik toko. Ia juga memutar tanda buka dan tutup di pintu tokonya, membuat toko itu seolah tutup meski pemiliknya ada di dalam.
Dengan hati-hati, Jiyong duduk di sofa lainnya, di depan Lisa. Pria itu melihat berkas-berkas yang ada di atas meja. Beberapa foto juga salinan data pribadi beberapa orang yang dianggap tersangka. Catatan penyelidikan, catatan dari saksi mata juga orang-orang terdekat korban, Lisa membaca semuanya kemudian tertidur.
Jiyong bisa saja membangunkan wanita itu. Pasti tidak akan sulit melakukannya, tapi alih-alih membangunkannya, Jiyong lebih memilih untuk menunggunya. Ia mungkin tidak akan punya kesempatan lain kalau melewatkan yang sekarang, melihat Lisa lebih lama daripada biasanya. Sembari memperhatikan lelapnya gadis itu terlelap, Jiyong tersenyum. Sebuah senyum getir. Seandainya waktu itu ia menyelesaikan dulu urusannya dengan Victoria, seandainya ia tidak terlalu malas untuk menemui Victoria dan segera mengakhiri hubungan mereka. Jiyong tidak akan kehilangan Lisa kalau saat itu ia memilih jalan yang benar. Ia tidak akan melukai Lisa dan membuat wanita itu membencinya.
Lisa masih memejamkan matanya, namun tangan gadis itu bergerak, membawa roti dalam pegangannya ke hadapan mulutnya. Masih sembari terpejam, ia menikmati roti isi cokelat itu, kemudian bergerak duduk.
"Sebanyak apapun aku memikirkannya, rasanya tetap sakit," ucap Lisa, tentu membuat Jiyong yang sedari tadi diam jadi canggung.
"Aku tidak pernah berniat untuk menyakitimu."
"Ya?"
Gadis itu tidak tidur. Ia tahu Jiyong datang, ia juga tahu Jiyong menghentikan bunyi loncengnya, duduk dan memperhatikannya. Namun memilih untuk berpura-pura tidak menyadarinya. "Apa yang oppa bicarakan? Jarinya dipotong, lalu tangannya dipotong. Tapi tidak ada sedikit pun obat bius di darahnya. Bagaimana cara menahan rasa sakitnya?"
"Narkoba," jawab Jiyong. "Tidak ada obat bius tapi ada narkoba di darahnya. Ada di halaman selanjutnya."
"Ah? Sungguh?" tanya Lisa, bergegas mencari halaman selanjutnya dari laporan forensik yang ia baca. "Tapi kenapa kau kesini, oppa? Bukankah aku sudah bilang, jangan menemuiku-"
"Tidak ada yang bisa ku suruh. Jisoo pergi menemui dokter forensiknya. Mino membuntuti salah satu tersangkanya. Kemasi semuanya, jangan membaca berkas-berkas penyelidikanku di sini. Bagaimana kalau ada pelangganmu yang melihatnya? Kerjakan di rumah-"
"Kau datang untuk marah-marah?"
"Tidak," geleng Jiyong. "Aku datang untuk mengajakmu ke lokasi kejadiannya. Kau tidak akan bisa bekerja hanya dengan membaca semua itu."
"Oppa, kau sengaja-"
"Ya, aku tiba-tiba saja termotivasi untuk cepat menyelesaikan kasus ini dan kembali ke Metro. Cepat kemasi semuanya. Aku akan membeli kopi dulu."
"Aku mau teh, dan roti lagi, bilang pada Hanbin rotinya untukku, dia tahu roti yang biasa aku beli."
"Aku juga tahu roti yang biasa kau beli," pelan Jiyong, sembari melangkah keluar.
"Ah... Ya, kau pasti tahu," bisik Lisa, ia sempat lupa kalau roti kesukaannya, sama dengan roti favorit Jiyong. Mereka punya selera yang hampir sama, karenanya mereka sempat jadi partner terbaik di Metro, dulu.
***