***
Mereka bertemu sepuluh tahun lalu. Dengan jarak usia yang hanya terpaut tiga tahun, keduanya masih sangat muda saat itu. Lalisa yang lulus ujian kepolisian di percobaan pertamanya membantu Jiyong yang masih detektif junior menangkap seorang buronan.
Semuanya hanya kebetulan. Kebetulan saja Lisa ada di lokasi kejadian saat adegan kejar-kejaran terjadi. Kebetulan saja dia ada di dekat Jiyong dan kebetulan saja ia yang dijadikan sandera, bukan warga sipil lainnya. Setelah pertemuan yang dramatis itu, mereka terus bertemu. Awalnya Jiyong disuruh menulis pernyataan Lisa sebagai korban sekaligus saksi. Namun keduanya jadi dekat hingga satu tahun selanjutnya, Lisa diangkat menjadi seorang detektif junior di tim Jiyong, di Kantor Kepolisian Metropolitan.
Gadis itu ternyata berbakat lalu ketua tim di bagian Kejahatan dan Kekerasan dengan senang hati merekrutnya. Karir Lisa, juga Jiyong pernah sangat lancar sebelumnya. Sebelum kekacauan terjadi dan kini mereka terdampar di kota kecil itu. Melarikan diri dan diusir pergi.
Baru saja Lisa menyelesaikan bukunya. Gadis itu tidak ingat kapan Jiyong pergi dari tokonya, tapi ia yakin pria itu kecewa. Lisa menutup bukunya, menaruh buku itu di raknya kemudian berjalan ke meja kasir. Ia kembali duduk di atas kursinya, kemudian mengecek ponselnya di sana. Ia baca beberapa berita dan menemukan alasan Jiyong ada di sekitar tokonya— pembunuhan di Apartemen Alamanda, tidak jauh dari tokonya.
Di tengah seriusnya membaca, lonceng di atas pintu tokonya berdenting. Seseorang baru saja masuk. "Hai, Song," sapa Lisa, menyambut aroma gurih dari sup tulang iga yang baru saja datang.
"Kau belum makan siang kan?" tanya seorang yang baru saja datang itu— Song Mino. "Hari ini aku bekerja di sekitar sini, jadi aku mampir-"
"Apa kau selalu bekerja di sekitar sini saat jam makan siang?" potong Lisa, yang selanjutnya menyapa gadis di belakang Mino— Kim Jisoo, rekan kerjanya sekaligus adik pemilik toko sebelah.
"Tapi sungguh, hari ini kami benar-benar bekerja di sekitar sini. Ada kasus di Apartemen Alamanda, tidak jauh dari sini," bela Jisoo, mengambil tempat di sofa untuk menyajikan tiga porsi makan siang yang mereka beli tadi.
Setelah berbasa-basi, ketiganya makan bersama. Lisa sudah lama mengenal Jisoo. Lisa sudah melihat bagaimana gadis itu berjuang keras agar bisa ada di posisinya sekarang. Sedang dengan Song Mino, Lisa baru mengenalnya satu tahun terakhir ini. Jisoo yang mengenalkan mereka dan seperti kelihatannya, Mino menyukai Lisa. Itu sebabnya pria itu sering mengajak Lisa makan siang bersama— setiap kali ada kesempatan.
"Hari ini kami kedatangan ketua tim baru dari Kepolisian Metro," cerita Mino.
"Sebenarnya kemarin dia sudah datang ke kantor polisi. Hanya untuk menyelesaikan berkas-berkas kepindahannya. Ini baru hari pertama baginya, tapi dia sudah dapat kasus seberat ini. Pembunuhan. Aku ragu kami bisa menyelesaikannya," potong Jisoo. "Kami hanya bertiga, benar-benar kekurangan orang. Aku tidak mengerti kenapa aku dan Mino oppa yang di rekrut ke tim ini. Ku dengar dari temanku di Metro, ketua tim kami kali ini bermasalah dengan seniornya, lalu dipindahkan ke sini," susulnya, terus mengeluh sembari mengisi perut laparnya.
"Apa yang terjadi di Apartemen Alamanda? Digantung sampai mati?" tanya Lisa kemudian.
"Aku tahu kau suka novel misteri tapi lebih baik habiskan dulu makananmu sebelum membicarakan kasusnya," tahan Mino, yang dengan perhatiannya meletakan sepotong kimchi di atas sendok Lisa.
Melihat itu Jisoo memutar bola matanya. Jisoo heran kenapa Mino masih saja memperhatikan Lisa. Ia heran kenapa Mino masih terus berusaha mendekati wanita itu, padahal sudah ditolak berkali-kali. Tapi bukan hanya Mino yang tergila-gila pada si pendatang baru itu— si gadis yang baru tiga tahun terkahir ini membuka toko bukunya di sana— ada banyak pria di lingkungan mereka yang jatuh cinta pada si pendiam Lalisa.
Kalau Hanbin bilang, Lisa punya aura yang berbeda. Aura seseorang yang sulit di dapatkan. Aura yang bisa membuat orang-orang penasaran tapi juga takut untuk mengenalnya lebih jauh. "Mereka seperti fans-fans yang jatuh cinta pada artis di TV," begitu penilaian Hanbin, yang Jisoo anggap sebagai satu-satunya pria yang tidak berusaha mendekati Lisa.
Malam harinya, Jiyong kembali ke toko buku bekas milik mantan kekasihnya itu. Lisa tengah menutup tokonya saat Jiyong datang. Namun alih-alih masuk dan menghampirinya, pria itu justru memilih untuk memperhatikan Lisa dari jauh. Di sebelah sebuah tiang papan nama toko roti di trotoar, ia berdiri.
Gadis itu masih tetap cantik— nilai Jiyong. Jantung pria itu terus berdetak, menggebu-gebu, jadi semakin keras di tiap detiknya. Perlahan, ia menyentuh dadanya sendiri. Mencoba menenangkan jantung yang hampir melompat di sana. Ia hampir kena serangan jantung kemarin malam, saat melihat Lisa berdiri di ambang pintu lalu jadi tetangganya.
"Jangan Kwon Jiyong. Kau sudah pernah menghancurkan hidupnya, jangan lagi," bisik pria itu meyakinkan dirinya sendiri yang mulai ragu.
Padahal baru dua puluh jam terakhir ini ia berusaha untuk tetap terlihat santai. Baru dua puluh jam ia mencoba untuk menahan dirinya, tapi rindu tetap sukses membuatnya goyah. Untuk kesekian kalinya ia menarik dan membuang nafasnya. Lantas berbalik, bersamaan dengan ponselnya yang berdering. Panggilan dari Song Mino, mengatakan kalau mereka sudah punya hasil dari tim forensik untuk kasus yang ditemukan pagi tadi.
Pria itu tidak melangkah menjauh dengan ponselnya. Ia masih berdiri di depan toko roti sembari bicara pada anak buah barunya. Namun seseorang menepuk bahunya, membuatnya menoleh dan melihat Lisa berdiri di belakangnya. Buru-buru Jiyong akhiri panggilannya, berpura-pura terkejut karena pertemuan yang tidak disengaja itu.
"Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Lisa, seolah tahu kalau Jiyong sengaja datang hanya untuk melihatnya.
"Ah? Kau sudah selesai bekerja?" canggung Jiyong. Padahal sebelumnya pria itu bisa mengatasi rasa canggungnya. "Aku dapat informasi kalau orang yang ku cari kelihatan di sekitar sini, jadi aku datang untuk memeriksanya."
"Teman serumah korban, pagi tadi datang ke tokoku. Menemani temannya menjual buku bekasnya padaku," potong Lisa, menyodorkan sebuah USB pada detektif di depannya. "Ini rekaman CCTV di luar dan dalam tokoku. Tadi sudah ada detektif yang datang, tapi aku belum sempat memberikan rekaman CCTV-nya."
"Ah? Terimakasih," balas Jiyong. "Kau mau pulang sekarang? Aku bisa memberimu tumpangan kalau kau mau," tawar Jiyong selanjutnya. Ia baru saja memaki dirinya sendiri karena menawarkan tumpangan itu. Padahal Mino sudah memintanya untuk datang ke kantor secepatnya. Tapi setiap kali Lisa ada di hadapannya, Jiyong merasa kalau tubuhnya tidak ingin mengikuti perintah otaknya. Ia terus mengikuti kata hatinya. Mengatakan semua yang terlintas di hatinya dengan harap hubungan mereka bisa membaik seperti enam tahun lalu.
***