29

429 104 6
                                    

***

Di dalam ruang interogasi, Lisa melamun memperhatikan lengannya yang terluka. Ada memar dan luka lecet di pergelangan tangannya. Luka itu yang ia dapat saat bertengkar dengan Jiyong beberapa waktu lalu. "Kalau aku melakukan kesalahan, apa yang akan oppa lakukan?" pertanyaan itu kembali berputar di kepala Lisa. Ingatan yang menyiksanya terus berputar dalam otaknya. "Aku akan membiarkanmu di hukum tapi tidak akan pernah meninggalkanmu," Lisa ingat dengan jelas jawaban Jiyong waktu itu. Namun sepertinya, kata-kata itu akan sulit di realisasikan. Jiyong terlampau marah hari ini.

Dua jam setelahnya, seorang wanita yang masuk menemui Lisa. Dengan setelan jasnya yang rapi berwarna merah muda lembut, ia melangkah masuk, lantas duduk di depan Lisa dan melepaskan borgol di tangannya. "Aku sudah dengar semuanya," ucap Jung Yoomi kemudian. "Aku sudah dengar tentang hubunganmu dengan Detektif Kwon. Aku juga sudah dengar kalau kau pernah membantu penyelidikan ini. Tapi hari ini kau datang dan mengaku sebagai pelakunya? Kenapa?"

"Apa Jiyong oppa baik-baik saja?" tanya Lisa.

"Dia tidak pingsan, tapi aku tidak yakin kalau dia baik-baik saja, dia sangat terkejut," jawabnya. "Jadi, kau datang ke sini untuk menyerahkan diri? Karena sudah membunuh Alice, Jisoo dan Nancy?" tanyanya kemudian. "Kenapa kau tiba-tiba menyerahkan diri dan membuat kami harus mengulang semuanya dari awal?"

"Kenapa? Jaksa Jung, kau tidak suka aku menyerahkan diri? Kau ingin Jin yang dipenjara? Ku dengar kau tidak percaya Jin pelakunya," tutur Lisa. "Kau benar. Pembunuhan lima tahun lalu dan tiga pembunuhan terakhir berbeda-"

Lisa terdiam, sebab pintu ruang interogasi baru saja terbuka. Seorang detektif melarang Jiyong untuk masuk, tapi pria itu tidak mau dengar. Jiyong mendorongnya, menyingkirkan tangan yang menahan tubuhnya dan menerobos masuk. Jaksa Jung yang juga menoleh, lantas membiarkan Jiyong tetap di sana, duduk di sebelahnya dengan raut tidak menyenangkan di wajahnya.

Awalnya Jiyong hanya diam. Ia menatap Lisa, memperhatikan gadis itu dari ujung kepalanya. Sedang Lisa yang tiba-tiba saja terlihat canggung mengalihkan pandangannya. Ia hindari Jiyong sebanyak yang ia bisa. Mata merah pria itu, dengan jelas menunjukkan kalau ia baru saja menangis. Rambutnya yang acak-acakan, juga memperburuk keadaan.

"Di dunia ini, aku tidak punya siapapun lagi," ucap Jiyong memulai pembicaraan. "Kau satu-satunya harapanku. Meski kita tidak bertemu, aku tidak boleh mati. Hanya tahu kalau kau masih hidup, hidup dengan baik, selama ini ku pikir itu cukup untukku, tapi tidak begitu. Sekarang, apa yang harus ku lakukan?"

"Menghukumku," bisik Lisa, mengingatkan Jiyong akan janjinya beberapa waktu lalu.

Lagi semuanya terdiam. Jiyong berusaha keras menenangkan dirinya dengan mengepalkan tangannya kuat-kuat kemudian diam-diam memukul sendiri pahanya. Sedang Lisa hanya meremas celananya, menahan takut. Luapan rasa takut yang terjadi setelah ia melukai seseorang yang penting dalam hidupnya. Rasa takutnya hari ini, sama seperti rasa takut ketika ia datang ke upacara pemakaman kedua orangtuanya— takut ia tidak akan bisa lagi bertemu dengan orang-orang penting itu.

"Kau benar-benar membunuh Alice, Jisoo dan Nancy?" tanya Yoomi kemudian, mendahului Jiyong.

"Ya," jawab Lisa. "Aku juga yang membuat Jin mengakui kejahatanku. Aku mengancamnya, aku bilang aku akan melukai kekasihnya kalau ia menolak permintaanku."

"Bagaimana kau membunuh mereka?" tanya Jiyong, yang kali ini membuka mulutnya.

"Aku melakukannya pelan-pelan," Lisa berucap, sangat pelan, jauh lebih pelan daripada jawabannya untuk Jaksa Jung. Rasa percaya dirinya langsung lenyap begitu mendengar suara Jiyong. Keberaniannya musnah begitu Jiyong mulai bicara dengan nada yang amat asing baginya— nada bicara yang penuh tekanan.

"Kira-kira dua belas jam," ucapnya kemudian. "Bisa dianggap lebih dari dua belas jam kalau pertemuan pertama kami juga dihitung. Aku berkunjung ke rumah mereka, menyuntik mereka saat mereka lengah lalu mendudukannya di sofa. Obatnya bekerja setelah beberapa menit, pelan-pelan mereka melemah lalu aku memotong jarinya. Ku mulai dari telunjuk, yang terakhir ibu jari."

"Apa yang kau gunakan untuk membunuh mereka?" tanya Yoomi.

"Pisau yang ada di rumah korban. Aku memakai dan meninggalkan pisaunya di sana. Agar tidak ketahuan."

"Pesan di freezer?"

"Aku yang menaruhnya," Lisa semakin menundukkan kepalanya. Tidak ada lagi sisa keberanian yang membuatnya mampu menatap Jiyong. "Oppa hampir menyerah. Karirmu-"

"Karirku?! Wah... Kau masih bisa memikirkanku? Kau masih mempedulikan karirku?" potong Jiyong, sembari berdiri, luar biasa marah dengan apa yang baru saja ia dengar. "Tapi kenapa kau melakukan ini kalau kau memang peduli?! Dari semua orang...Kenapa harus- kenapa kau yang- kenapa kau melakukan kesalahan seperti ini?! Aku bisa memaafkan semua kesalahanmu, tapi kesalahanmu kali ini?! Bagaimana?! Bagaimana aku bisa memaafkannya?!" marah Jiyong, berteriak, berkali-kali memukul meja besi di depannya. Ia buat beberapa detektif senior, termasuk kepala kepolisian yang ikut sakit kepala terpaksa mematikan CCTV dalam ruangan itu. "Kenapa kau memberitahuku dengan cara seperti ini? Kenapa kau tidak mengatakannya kemarin? Kemarin lusa? Minggu lalu? Bulan lalu? Kenapa baru sekarang?! Kau bahkan tidak membiarkanku untuk memilih!" ledak pria itu, memarahi Lisa seolah ia mampu untuk memukulinya. Meski yang ia lakukan hanya memukuli meja, membuat hanya tangannya sendiri yang terluka.

"Pilihan apa yang bisa aku berikan?" tanya Lisa. "Mengajakku melarikan diri? Tangkap aku atau pergi bersamaku? Laporkan aku atau rahasiakan ini selamanya? Aku tidak ingin melarikan diri bersamamu. Aku juga tidak ingin oppa jadi penjahat."

Jiyong terus marah. Bahkan setelah Yoomi tahan, pria itu tidak mau berhenti. Lisa berusaha keras menahan dirinya, mendengarkan ledakan emosi Jiyong juga kehancuran pria itu. Namun lama-kelamaan, gadis itu tidak tahan lagi. Ia tidak tahan melihat darah merah gelap yang menggumpal di punggung tangan pria itu. Meja besinya terluka, sama terlukanya dengan tangan Jiyong yang terus memukulnya.

"Hentikan... tolong berhenti. Hentikan!" jerit Lisa, jauh lebih keras daripada emosi Jiyong. "Jaksa Jung, tolong bawa dia keluar," pinta Lisa, namun tanpa Jung Yoomi sempat mengatakan apapun Jiyong sudah lebih dulu berdecak, marah lantas meninggalkan ruang interogasi itu. Meninggalkan Lisa seolah ia enggan melihat gadis itu lagi.

***

Life DisorderTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang