Bagian 1

280 18 1
                                    

"Senyum itu sangat berbeda. Senyum yang menyimpan banyak kenapa."
🍃🍃🍃

Di depan pintu IGD, tatapanku terkunci pada sosok wanita yang sudah tidak asing lagi. Dia sedang duduk bersama anak kecil berjenis kelamin laki-laki. Tatapannya sendu, tapi bibirnya mempertahankan senyum sembari memeluk anak kecil itu.

Dengan seragam putihnya yang beda bentuknya dari yang lain, sekali melihatnya saja sudah mengenali siapa dia. Atasan putih sampai ke atas lutut dan celana yang sangat longgar serta jilbab sisi kanannya mengapit ke sisi kiri. RSI ini semakin mengental karena pakaiannya itu.

Anak siapa yang dia bawa?

Aku tidak tahu sejak kapan dia datang, tapi tiba-tiba dokter keluar dari ruang IGD bersama wajah sesalnya. Dokter itu menggelengkan kepala. Semua tahu maksudnya. Apalagi kalau yang ditangani tidak berhasil diselamatkan.

Perawat yang kerapkali aku panggil Sana itu reflek mundur. Tatapannya semakin kosong dan matanya berair. Akan tetapi, air matanya ditahan oleh senyuman saat anak kecil yang dibawanya mendekat ke kakinya. Dari sorot mata anak kecil itu bertanya apakah gerangan yang sedang terjadi.

Sana duduk mensejajarkan tubuhnya dengan tinggi anak itu. Ia tersenyum lalu memeluknya erat.

"Dokter Kahfa, persiapan operasi sudah siap."

Ucapan perawat lain mengejutkanku. Dengan acuh tak acuh, aku memanggil Sana tanpa berpindah tempat. Namun, dia seperti orang dungu. Telinganya seolah tersumbat.

"Ners Sana,"panggilku dengan suara yang keras tapi tidak membentak. "Operasi akan dilangsungkan. Ayo."

Dia mengelus lembut pundak anak kecil yang bersamanya. Lalu, dia duduk di bawah menghadap lurus anak kecil yang baru aku ketahui bernama Omar.

Lagi-lagi Sana tersenyum dan berkata, "Omar tunggu di sini bentar, ya. Nggak papa, kan?" Anak kecil itu hanya mengangguk polos.

Cukup memastikan Sana melangkah, aku berbalik arah dan berjalan tanpa menunggunya. Terdengar derap kaki yang amat lekas. Tepat di depan nurse station Sana berdiri di hadapanku hingga kakiku mendadak berhenti. Deru napasnya cukup keras, sedangkan aku menatapnya bingung.

Merasa menangkap kebingunganku, Sana berseru, "Dok, saya cuti hari ini. Saya harus menemani Omar."

"Cuti? Mana bisa cuti secara mendadak?"
"Kenapa nggak bisa? Kalau saja mati bisa mengirim pesan lebih dulu, mungkin saya ambil cuti dari kemarin."
"Siapa yang meninggal?"

Sana tidak menjawab. Antara bingung atau memang sengaja tidak memberitahu.
"Nggak bisa. Operasi sudah mau dimulai," sahutku tegas.

Dia tidak memberi tanggapan. Kemudian aku melewatinya yang terlihat mengepal tangannya.

"Dasar tidak punya hati."

Perkataan dari Sana cukup lantang hingga semua pasien dan penghuni rumah sakit seolah menatapku sebagai tersangka. Sejauh ini hubungan kerja sama kita baik-baik saja. Sana juga termasuk orang yang rajin dan penurut. Akan tetapi, kali ini entah apa yang mengganggunya.

Seusai tatapanku mengelilingi tiap sudut rumah sakit, aku menatap tajam ke arahnya. Seujung kain di lengannya berhasil aku cubit dan kubawa paksa.

"Ikut saya."
"Mau ke mana?" protes Sana.

Langkah kami berhenti di ruanganku. Tidak ada maksud untuk memarahinya. Aku bukan tipe orang yang dengan mudah masuk ke rumah alias hidup orang lain. Memarahinya bukan hakku, tapi meminta penjelasan lebih lanjut perihal cuti yang membuatnya kesal adalah hakku.

LaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang