Bagian 14

53 8 0
                                    

Di bawah pohon rindang dan di depan kursi kayu yang memanjang, dua orang sedang berdiri dengan tatapan yang tak sejalan. Si pria menunduk, sementara lawan jenisnya menatap lurus ke depan. 

Sana benar-benar memilih untuk menemuinya.

Aku tidak bisa mendengar percakapan mereka karena jarak yang terlalu jauh. Keputusan untuk menyaksikan keduanya bukanlah hal yang aku inginkan. Adakah orang yang sengaja ingin terluka?

Dari raut wajah mereka, aku bisa menebak bahwa obrolan mereka sangat serius. Aku ingin sekali tahu hubungan di antara keduanya agar hatiku tidak serumit ini.

Beberapa menit kemudian, pertemuan mereka berdua berakhir. Tubuh Sana tampak lesu dan telapak tangan kirinya mengusap pipinya setelah tubuhnya bertolak belakang dengan Azzam.

Dia menangis?

"Ah sulit dipercaya," gumamku tatkala melihatnya masih ramah dan tesenyum menyapa beberapa tenaga medis yang sedang dilewatinya.

Kaki melangkah cepat berusaha mengejar Azzam. Aku terlalu ikut campur sampai lupa batasan. Hanya saja, aku cuma ingin tahu hubungan mereka. Ah bukan. Aku mengakuinya, aku sangat mengkhawatirkan Sana.

"Bengsek! Lo apain Sana? Kenapa dia nangis?" ucapku setelah hilang kendali menamparnya.

"Jauhi dia. Berhenti menyakitinya," lanjutku lagi tanpa peduli pinggiran pipi Azzam yang memar. Aku sangat marah sekaligus tidak rela air mata Sana keluar karena dilukai orang lain.

"Kaf.."

Ah sungguh. Panggilan itu membuyarkan sisi pria sesungguhnya yang aku miliki. Aksi memukul dan mengancam Azzam hanya ada di kepala. Mana mungkin aku berani melakukannya. Itu hanya akan merusak persahabatan kami. Ah ini gila. Aku sudah merusaknya lebih dulu karena halusinasi yang aku buat barusan.

"Sorry. Sekali lagi gue minta maaf, Zam."

"Hah? Kenapa?"

Dia kebingungan, begitu pun aku yang menggeleng kepala cepat. "Ah bukan. Lo mau pulang?"

Dia mengangguk dan mengatakan bahwa dia lelah ada sini. Banyak kejutan yang tidak bisa dikendalikan oleh hatinya.

Aku langsung mengerti maksud dari perkataannya itu.

______

Seharian ini, Sana terlihat sibuk di poli IGD. Mungkin jadwal yang keluar tadi pagi menempatkan dia di bagian IGD.

Posisiku sekarang tepat di belakangnya. Dia sedang berjalan sambil memijat bahunya berulang. Sangat jelas kalau dia kelelahan.

Kami berpisah di parkiran. Ia berjalan menuju parkir motor, sementara aku ke bagian roda empat. Lucu sekali wanita itu. Aku hanya tertawa melihat tingkahnya yang kebingungan mencari kendaraannya. Mau dicari sampai tujuh hari pun tidak akan pernah ketemu.

Bisa-bisanya dia lupa kejadian kemarin malam yang melibatkan dia di mobilku.

"Cari apa?" tanyaku mengejutkannya.

"Motor saya hilang, Dok," jawabnya sedikit cemas, tapi tetap terlihat tenang.

Aku tertawa tanpa sadar dan mendapat teguran darinya. "Kenapa Dokter ketawa? Apa orang yang kehilangan tampak lucu bagi Dokter?"

"Ah bukan. Motormu diparkir di gedung Grand Pramuka."

"Maksudnya?"

"Kamu ke sini nggak bawa motor, San."

"Benaran?"

Belum sempat aku menjawab, kedatangan Ayya menekan tombol pause pada obrolan kami. Dia menepuk pundak Sana, lalu tiba-tiba mematung setelah melihatku. Dia tersenyum dan sedikit menganggukkan kepalanya sekali. Begitu caranya menyapa, persis teman di dekatnya itu. Memang benar, kita akan dipertemukan dengan orang yang hampir tidak ada bedanya dengan kita.

LaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang