Bagian 2

148 15 0
                                    

"Ketika kamu harus kehilangan diri sendiri demi kebahagiaan orang lain. Sejatinya, kamu juga butuh bahagia."
🍃🍃🍃

Lagi-lagi Omar menghampiri kami hanya untuk menanyakan orang tuanya. Aku memberi instruksi kepada Sana untuk memberi tahu saja. Lambat laun, anak itu pasti tahu dan hal tersebut hanya akan menyayat hatinya.

Bola mata Sana hampir keluar dari habitatnya. Dia mengancamku untuk tetap diam. Lucu.

"Omar main aja dulu, ya. Nanti tante telepon bunda."

Permintaan Sana dituruti begitu saja oleh ponakannya. Sementara aku sedang berusaha membaca pikiran wanita ini. Apa pun itu, membiarkan orang lain hidup dengan dikasihani bukanlah hal yang baik. Atau mungkin Sana melakukan ini sebagai tanda kasihnya? Entahlah, yang aku tahu sekarang, untuk Sana, aku bukanlah aku dengan martabat yang aku junjung selama ini.

"San, keputusanmu hanya menghancurkan kepercayaan diri keponakanmu."
"Lara. Sampai kapan dokter memanggil saya Sana?"
"Kenapa, sih, harus Lara?"

Sana terdiam. Ia terlihat kesulitan menelan ludah. "Cuma.... lebih baik Lara daripada Sana," jawabnya. Lalu, sekilas dia melirik ke arahku. "Jam makan siang sudah habis. Dokter mau dipecat?"

Pemberitahuan darinya membuatku reflek melihat benda hitam yang melingkar di tangan. Benar. Sudah 60 menit di sini. Mau tidak mau, aku harus kembali ke rumah sakit.

"Jangan datang lagi," kata Sana tanpa mengubah pandangannya.

Ancamannya itu membuatku semakin semangat untuk datang lagi. Aku biarkan perkataannya menggantung dengan tidak memberi jawaban.

*****

Sudah tiga hari ini Sana jarang terlihat kecuali di kantin saat jam makan siang. Barangkali dia sudah menemukan tempat persembunyian seperti gua al-Kahfi yang sulit diketahui musuh.

"Permisi, lihat perawat Sana?" tanyaku kepada salah satu suster di ners station.

Dua perawat tersebut terlihat bingung bak orang yang tidak pernah tahu ada nama Sana di rumah sakit ini. Mereka saling berbisik dan berunding hingga membuatku menunggu lebih lama.

"Perawat Sana yang mana, Dok?" tanyanya balik.
"Afsana Alara."

Mulut mereka berbentuk huruf O dengan sempurna. "Lara, toh.... Tadi saya lihat dia terburu-buru keluar, Dok."

Percakapan kita berhenti di kata "terima kasih". Mau melanjutkan, tentu mereka akan menjawab tidak tahu. Ke mana Sana di jam makan siang? Untuk apa dia keluar sedangkan kantin rumah sakit masih cukup menampungnya.

Setelah kembali bekerja, Sana berubah menjadi murung dan tidak banyak bicara. Mungkin kata para penulis itu benar, seseorang akan berubah menjadi pendiam saat hatinya sangat terluka.

Di ruang operasi kali ini, dia kehilangan fokus. Aku berkali-kali memberi isyarat meminta alat, tapi Sana memberikan alat yang tidak sesuai.

"Ners Sana... Keluar."

Tanpa perlawanan dan ditemani tatapan dari petugas yang lain, Sana keluar dari ruang bedah. Dia benar-benar bukan Sana yang dulu. Berubah total. Sering terlihat lemah. Barangkali dia kesulitan mengurus Omar sendirian.

"Kerja bagus semuanya..."
"Terima kasih."

Begitu kira-kira kalimat setelah operasi berakhir. Dengan langkah sejajar, aku berjalan sambil melepas kaca mata dan menaruhnya di kantong.

LaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang