Bagian 17

44 6 0
                                    

"Kadang dunia terasa begitu kecil. Mempertemukan kembali kisah yang sudah lama usai dan membawa kenangan yang sempat tak tertinggal."
🍃🍃🍃

"San.. Syifa.."

Sana memeluk Ayya yang sedang merengek seperti anak kecil. Wajahnya kusut sekali dipenuhi air mata. Bahkan dia sampai sesenggukan.

"A..aku... lihat Syifa keluar dari ruang Dokter Mayang. Dia sakit parah? Syifa sakit parah? Kenapa dia ke dokter onkologi?" lanjutnya terbata-bata.

"Apa maksudmu? Bicara yang jelas," kata Sana tidak sabar.

Hal serupa terjadi padaku. Aku tidak sabar hingga melihat ruang inap di depan itu lewat jendela.

Ketika melihat wajahnya, mulutku bergetar. Aku mendadak tremor. Asyifa? Jadi yang mereka maksud Syifa itu dia?

Badanku berbalik 180 derajat. Kaki melangkah dengan isi kepala yang entah ke mana. Bagaimana bisa semuanya seperti ini? Apakah keputusannya waktu itu hanya untuk hidup semenyedihkan ini? Apa yang telah dia lakukan hingga bisa sakit separah itu? Apa dia kesakitan setiap hari?

Aku kembali ke ruanganku dengan memijit kepala yang peningnya bukan main. Seharusnya ini bukan lagi urusanku, tapi aku tidak bisa bersikap seolah tidak pernah mengenalnya.

Kalau isi kepala sedang rumit dan dipaksa bekerja hanya menambah lelah berkali lipat. Dan itu yang sedang aku rasakan. Seluruh sendi dan tulangku seperti memberontak ingin melepaskan diri dari tubuh ini.

Hampir jam satu siang, aku memutuskan untuk menemui Asyifa. Aku harus berbicara dengannya demi kebaikan mentalku untuk kedepannya. Berkali-kali aku meyakinkan diri sendiri bahwa aku bisa.

Helaan napas panjang keluar setelah menghirupnya. Perlahan tanganku memutar knop pintu. Namun, langkahku mendadak berhenti karena ada Sana dan Ayya di sana.

Aku mematung di ambang pintu akhirnya.

"Aku sudah tiga kali ke sini dan melihat kalian dua bulan lalu, tapi aku bersembunyi karena kondisiku. Aku hancur waktu itu mendengar penjelasan dokter tentang hasil CT-Scan yang aku lakukan. Nggak mungkin bertemu kalian dengan wajahku yang kusut."

"Kenapa? Kenapa kamu nggak sapa kita? Kita mencarimu kemana-mana," protes Ayya.

"Aku mengidap kanker otak..... glioblastoma, stadium akhir."

Ujung mataku memanas mendengar kalimat terakhir. Sekalipun keadaan sekacau ini, aku bisa melihat dengan jelas tangan Sana bergetar lalu mengepal. Sementara Ayya tidak bisa menahan tangisnya. Dia menutup mulutnya sembari menatap dalam Asyifa.

"Ah Ayya.. kenapa kamu belum berubah? Jangan terlalu emosional," ucap Asyifa sembari tertawa kecil.

"Apa itu penting sekarang?" kesal Ayya.

"Dua bulan kamu melakukan pengobatan di sini tanpa mengabari kami?" celetuk Sana mengalihkan suasana.

"Nggak. Ini baru hari pertama."

Kedua sahabatnya itu tercengang dan saling berprotes.

"Aku nggak minat buat kemo. Percuma, nggak bakal memperpanjang hidupku, kan?" Asyifa menjeda ucapannya sebelum akhirnya meringis dengan menatap jari di tangan kanannya. Sana dan Ayya mengikuti pandangannya itu termasuk aku.

Asyifa mengelus cincin di jari keempat. Dia menghela napasnya berat. "Saat aku dapat kabar kalau dia nggak bisa pulang untuk 6 bulan ke depan," lagi-lagi perempuan itu menghentikan perkataannya. Napasnya naik turun begitu cepat. Terlihat sangat jelas kalau dia sedang tertekan.

"Waktuku cuma satu tahun... aku ingin hidup lebih lama lagi," sambungnya sambil terisak.

Ayya dan Sana langsung memeluk Asyifa erat. Mereka benar-benar sepeti teletubbies sekarang.

LaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang