Bagian 10

63 9 0
                                    

"Dia mengaku membenci hujan, tapi senang berdiam diri di bawah tetesannya."
🍃🍃🍃🍃🍃

Sana dan ibunya sedang bertempur di dapur, sementara aku menemani Omar bermain mobil-mobilan.

Benar-benar sungkan ada di rumah ini, padahal sempat tinggal di sini selama tiga tahun.

"Om dokter, mobilnya cegat. Omar mau ke kamar mandi dulu," katanya setelah mendorong tamiya ke arahku.

Sayangnya, bocah kecil itu menggunakan seluruh tenaga dalamnya hingga mainan itu bergerak cepat melewatiku. Hiks, aku gagal mencegatnya.

"Ibu tinggal di Cilandak. Suami ibu pindah tugas ke sini."

Percakapan itu terdengar olehku karena tamiya milik Omar berhenti di dekat dapur.

Aku bisa melihat wajah datar Sana yang menanggapi pemberitahuan dari ibunya perihal kepindahannya. Sebenarnya apa yang terjadi pada wanita itu? Kenapa sikapnya sangat dingin terhadap ibunya sendiri?

"Biar Omar tinggal sama ibu aja. Pasti kamu kerepotan," lanjut ibunya Sana.

"Nggak usah. Omar sama aku aja. Kan di sana udah ada Zira."

Akhirnya aku mendengar suara Sana. Canggung sekali ucapannya. Bahkan dia enggan menaruh kata ibu di tengah perkataannya.

Mereka berdua mendadak diam hingga aku mengintip untuk memastikan kondisi keduanya.

Sungguh pemandangan yang tidak asing lagi bagiku.

"Dengarkan ibu."

Suara mulai terdengar lagi setelah beberapa saat sunyi. Akan tetapi, dari nadanya tampak sangat serius.

"Sudah biasa anak dan orang tua bertengkar. Ini sudah lebih dari lima tahun. Kenapa sikapmu masih begini ke ibu?"

"Maaf."

Hah? Aku tidak salah dengar, kan? Sana hanya menanggapi satu kata dari belasan kata ibunya? Parahnya, dia langsung menjawab seolah tanpa meresapi lebih dulu makna perkataan ibunya.

"Ara. Ibu sudah melupakannya."

Ibunya Sana menjeda ucapannya. Napasnya sangat keras sampai terdengar ke tempatku berada.

"Nggak ada, Ra. Nggak ada orang yang mau hidup kayak gini. Nggak ada orang tua yang mau bersekat sama anaknya. Kalau ibu punya kekuatan dan bisa mengubah masa kecil kamu, pasti ibu lakukan itu."

"Ibu juga mau merawat kamu. Melihat kamu tumbuh sedikit demi sedikit. Tapi, keadaan meminta lain. Ibu nggak berdaya dan nggak punya apa-apa."

Barangkali, netra Sana saat ini sedang berkaca-kaca. Hatiku saja langsung tersentuh saat mendengar pengakuan dari ibunya.

"Masakannya sudah siap. Kasihan Omar sama Dokter Kahfa pasti udah nunggu."

Balasan dari Sana berhasil membuatku kesulitan menelan ludah. Sangat tidak terduga.

Untuk menyelamatkan diri, aku beranjak pelan-pelan menuju ruang tengah — tempat semula aku dan Omar bermain.

Tak lama kemudian, Sana memanggilku dan Omar untuk bergabung di meja makan.

Aku duduk dengan sungkan, sangat sungkan. Melihat cara kami makan sudah seperti satu keluarga yang baru saja terjalin.

Sana begitu cekatan menaruh makanan di piring ibu dan ponakannya.

Selagi memegang sendok, tatapanku terkunci di lensa cokelat milik wanita di hadapanku. Banyak hal yang ingin aku selidiki. Wajah tanpa ekspresinya itu berhasil menarik perhatianku.

LaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang