Bagian 6

72 11 2
                                    

"Ketika jarak semakin dekat,
bersiaplah satu per satu rahasia hidupmu terbongkar."
🍃🍃🍃

Rasa panas langsung menyiksa dada karena perkataannya itu. Manik mataku masih menatapnya tak percaya, sementara dia menunuduk salah tingkah.

"Aku lakuin ini bukan karena kamu, kok, San. Ini demi Omar."

Perkataan itu akhirnya keluar setelah beberapa menit bungkam. Wanita di hadapanku itu semakin canggung.

Sana melirik ke arah Omar yang sedang digendongnya lalu beralih memandangku sekejap. "Ok. Jalanlah lebih dulu," pintanya.

"Kenapa? Bukannya kita bisa jalan berdampingan?"

"Aturannya memang begitu. Kalau ada wanita dan pria yang bukan mahram berjalan berdua, seharusnya memang pria yang di depan."

"Aku baru tau."

"Setan punya banyak cara, bahkan punggung wanita diperindah sama mereka."

"Benar-benar antusias."

Kami berdua menuju mobil dalam kondisi aneh. Dia membuntutiku dan memberi jarak sekitar satu meter. Cara berjalan saja sangat dia patuhi. Sunguh takwanya belum aku temui di jaman sekarang.

Sana tidak bertanya akan dibawa ke mana, ia mendadak menjadi patung yang tak bisa bicara. Mulutnya seolah terkunci dan tatapannya tak beralih dari jalanan di samping kirinya.

"San, kamu percaya sama aku?"

"Enggak," balasnya tanpa merubah pandangannya.

"Terus kenapa kamu ikut?"

"Allah sangat dekat."

"Apa hubungannya?"

Pertanyaanku menggantung. Dia kembali membisu dan mengabaikanku. Ambigu. Tidak ada cara lagi untuk mencairkan suasana. Percuma, Sana pasti tidak suka. Dia seperti tulisan dokter yang cuma bisa dibaca oleh pemiliknya.

Setibanya di gedung apartemen, Sana mulai unjuk rasa. Dia mengajukan pertanyaan beruntun yang membuatku sedikit tercengang. Ternyata dia menjadi banyak bicara jika menyangkut kepentingannya sendiri.

"Gedung ini punya dokter?"
"Ada ruang yang kosong?"
"Berapa biaya sewanya?"
"Ah tidak. Ada yang bisa dibeli?"
"Berapa harganya?"

Begitulah bunyi yang keluar dari kerongkongan wanita itu. Aneh juga, dia berpikir terlalu jauh hingga mengira gedung ini adalah milikku.

Tidak ada satupun pertanyaan yang berhasil aku jawab. Aku sengaja membiarkannya menggantung supaya dia tahu rasanya diabaikan.

Bercanda. Sebenarnya ini tidak baik untuk jantungku. Pasalnya, Sana semakin menggemaskan ketika banyak bicara. Oleh sebab itu, aku memilih untuk diam dan tidak membalasnya.

*****


"Ini masih...." ucapanku terpotong karena punggungku yang merasa ditabrak sesuatu.

Tak sengaja aku tersenyum saat melihat Sana yang mengaduh sambil memegang keningnya.

"Kenapa, sih, harus mendadak?" kesal Sana.

Gelakku masih saja bertahan, "Aku kira kamu masih jalan sejauh satu meter dariku. Sorry."

"Emang," sahutnya masih kesal.

"Lah kok bisa nabrak, sih?"

"Karena nggak ada lampu merah."

Wanita ini bisa juga ngelawak. Akan tetapi, garing sekali, bahkan untuk orang yang humornya rendah sepertiku saja tidak berhasil terhibur.

LaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang