Bagian 21

31 3 0
                                    

"Aku menyukaimu dan itu bukanlah urusanmu. Tugasmu hanya memastikan hidupmu bahagia. Biarkan perasaan ini sepenuhnya milikku, kamu tidak perlu repot-repot membalasnya."

🍃🍃🍃


Meski belum juga membaik, satu minggu sudah cukup lama untuk tidak bekerja. Masalahnya adalah semakin banyak waktu santai, aku malah disadarkan oleh realita tentang hidup yang kini sebatang kara. Sangat melelahkan bahkan sekadar untuk meratapi keadaan.

Papa memintaku bertemu setelah jam kantor. Sebenarnya tidak minat untuk menyapanya dalam keadaan seperti ini. Tetapi, mengingat ia yang masih manusia pasti juga terluka dan terpukul atas kematian istri dan ayahnya.

Tidak sia-sia sengaja mengulur waktu. Di dalam ruangan VVIP sudah berjejer banyak makanan juga papa yang terlihat cukup baik.

"Ah.. kamu menunggu disuruh duduk? Duduklah," katanya, setelah sekitar satu menit aku memandang ke sembarang arah dalam keadaan berdiri.

"Langsung ke inti," tegasku.

"Apakah orang tua juga perlu membeli waktu anaknya sendiri untuk bisa bertemu?"

Ucapannya itu refleks membuatku berdecak. Barangkali dia sudah lupa dengan perkataannya tempo lalu. Pekerjaan paling mudah memang memungut ludah sendiri. Aku tidak berselera untuk mengingatkannya hingga membiarkan dia semaunya.

"Baiklah. Waktumu memang sangat berharga. Hanya, Pak Iskandar sudah menemuimu?"

Seperti mengerti dengan tatapan juga kerutan di dahi yang tak diundang, ia melanjutkan ucapannya, "Pengacara kakekmu."

Aku menghela napas sekaligus tertawa. Sungguh sangat menjijikkan. Bahkan tanah kuburan ayahnya belum kering, tapi sudah sibuk mengurusi warisan. Apakah hanya ada dunia di hatinya? Aku malu telah lahir berasal dari sel sperma pria itu.

"Memalukan!"

Satu kata yang menjadi akhir untuk duduk di kursi ini. Tubuhku beranjak meninggalkan dia bersama tatapan tidak tahu malunya.

"Kamu tahu apa yang paling menyedihkan bagi orang tua?" katanya menghentikan langkahku. Kakiku menekan pause bukan karena penasaran, tapi ini mengingatkanku pada kakek.

"Saat dia tidak bisa meninggalkan setetes warisan untuk anaknya."

Aku menyesal telah menyamakan dia dengan ayahnya yang nyaris sempurna. Sulit memang, jika hati sudah dikuasai oleh dunia. Apa pun langkahnya, bahkan perkataannya pun tidak lepas dari harta benda. Menggambarkan isi hati yang sebenarnya.

"Kabar baiknya, anda tidak memiliki anak." Tubuhku berbalik untuk menghukum korneanya. "Ah... apa mungkin salah satu istri anda sedang mengandung atau keduanya?" Aku memberikan satu kali tepukan tangan, kemudian tersenyum kecut. "Selamat," kataku tanpa ekspresi, lalu pergi.

Ah, kenapa aku tidak menjadi aktor saja? mungkin jika direkam, kejadian tadi sudah persis drama keluarga yang sangat alami. Aku, sangat cocok jadi si antagonis.

-----

Kejadian semalam seolah tidak pernah terjadi ketika pagi sudah harus disambut. Seolah, oh ini hari baru. Apa pun yang terjadi kemarin hanyalah history yang cukup membusuk di masa lalu.

Sebuah paperbag berwarna cokelat muda menghalangi langkahku yang baru saja membuka pintu untuk keluar apartemen. Hampir saja menendangnya.

LaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang