Bagian 5

75 11 0
                                    

"Saat kau lelah, marah sepeti cara jitu untuk memulihkan. Namun ternyata, hanya sesal yang tersisa setelah marah mereda."
🍃🍃🍃

Tanpa melihat Omar, Sana menyiapkan makan siang dan menyuruh ponakannya untuk makan. Sementara tatapanku tak beralih sedikit pun dari pupil mata miliknya. Terlihat sangat jelas genangan air di sana.

Tadinya selepas mengantar mereka pulang, aku akan pulang ke rumah. Namun, Omar menghentikanku dan memintaku untuk ikut makan siang.

Sana meninggalkan Omar dan menyingkir ke kamar mandi. Sekilas aku mendengar isakan yang ditahan.

Dengan langkah yang ragu, aku mendekati kamar mandi untuk memastikan. Benar saja. Sana sedang menangis di dalam.

Untuk memberi ruang baginya menangis dengan bebas, aku mengajak Omar keluar membeli camilan.

"San, aku bawa Omar jalan-jalan, ya."

Setelah pamitan itu, tanpa mendapat persetujuannya, aku dan Omar keluar rumah berjalan kaki.

Sebelum dipaksa, Omar sempat menolak dengan alasan Sana yang mewanti-wanti agar dia tidak keluar rumah. Aku meyakininya hingga dia percaya dan merasa nyaman.

Aku melihat anak lainnya sedang bermain bersama di tengah kompleks dekat toko kecil yang hendak kami kunjungi.

Saat mereka melihat kedatangan Omar, keadaan menjadi berbeda. Mendadak mereka berdiskusi dengan mata risih ke arah Omar.

Dari situ aku mengerti kalau Omar sudah tidak diterima di tempat ini. Haruskah?

Sedangkan Omar sangat ingin bermain dengan mereka, tapi dia tahan dan hanya memerhatikan mereka dari kejauhan.

"Omar mau ice cream?" tanyaku mengalihkan keadaan.

Alih-alih menjawab, dia malah menundukkan kepala. Mungkin sedang menyembunyikan kesedihannya.

Aku memilih beberapa makanan ringan dan membayarnya. Sementara Omar kubiarkan dengan aktivitasnya.

"Apa kamu bilang?"

Teriakan itu membuatku terkejut dan menoleh ke asal suara. Omar yang tadinya berdiri di dekatku sudah bergabung dengan beberapa anak yang tadi.

"Bilang lagi!!"

Setelah terburu-buru membayar, aku menghampiri Omar yang sedang dikuasai emosi. Aku tidak tahu mengapa anak sekecil itu bisa meluapkan amarah seperti orang kesurupan.

Matanya memerah, bibirnya bergetar dan tangannya mengepal begitu kuat.

"Omar," tanganku bertengger di pundaknya lalu berusaha merenggangkan kepalannya itu.

"AKU BUKAN ANAK PEMBUNUH!!" gusarnya dengan mata mendelik sempurna.

Dengan lembut, aku langsung mengajaknya pulang. Mendekap tubuhnya yang hanya sepaha itu.

Belum berhasil sampai gerbang, terlihat Sana dengan kecemasan menghampiri kami berdua. Dia menarik kasar Omar dan membawanya masuk ke rumah dengan lekas hingga jalannya tak beraturan.

"Bunda sudah bilang, jangan keluar rumah."

Sana dan Omar sedang berhadapan. Omar masih dengan mata membelalak dan Sana yang mencengkram bahunya.

"Kenapa kamu nggak bisa dibilangin? Jangan keluar rumah," hardik Sana.

"Omar!! Dengar bunda nggak?!" ucapnya lagi dengan nada tinggi.

Tatapan tajamnya itu dibalas oleh Omar dengan tatapan yang tak kalah tajam. Bibir Omar terus saja bergetar. Dia tidak bisa menahan emosi sedangkan Sana tidak mau mengerti itu.

LaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang