Bagian 19

47 4 0
                                    

"Bahkan aku bertanya, masihkah surga ada di telapak kaki ibuku sementara agama kita berbeda?"
🍃🍃🍃

Sunyi memukulku keras hingga dini hari. Tidak membiarkan kepalaku istirahat sekalipun ragaku tertidur pulas.

Bahkan aku bertanya-tanya, sedang apa ibuku di sana? Akankah malaikat memberinya kesempatan untuk meminta ampunan? Mungkinkah ibuku sedang menangis atau senang? Apakah Tuhan mengampuninya dan menerima penyesalannya? Jika aku berdoa untuknya, mungkinkan bisa meringankan bebannya?

Kata mereka, orang baik akan masuk surga. Aku sangat mengharapkan itu kenyataan dan berlaku untuk ibuku. Sekalipun aku tahu dengan benar, bahwa baik saja tidak cukup untuk berhasil mendapat tiket surga, harus ada iman sebagai kunci utama.

Aku malu untuk mengakui ini. Malam ini, air mataku tak kuat lagi bersembunyi. Bahkan suara tidak berhasil terdengar karena isakan yang penuh keluar secara brutal.

Aku lemah. Iya.. seorang pria juga manusia biasa. Benar, aku hanya manusia yang bisa jatuh dan merasakan sakit yang luar biasa.

Setelah ibu meninggal, aku tidak tahu harus bagaimana lagi setelah ini. Aku harus ke mana?

Pyaaarrrrrr....

Suara gelas jatuh mengagetkanku hingga aku terburu-buru keluar dari kamar. Mengambil raket listrik sebagai jaga-jaga dan mengendap menuju dapur.

Akan tetapi, aku mendengar helaan napas panjang yang dihembuskan begitu kasar. Ini kakek. Aku mencari saklar lampu, berniat menyalakannya.

"Diam!! Jangan lakukan apa pun."

Seperti robot yang ditekan tombol off, aku melakukan hal yang serupa. Terdiam dan menunggu tuanku memberikan perintah lagi.

Kakek berjalan hampir menabrakku. Ah ini disengaja, dia sengaja menyenggolku. "Aku benci melihat matamu seperti sekarang," ujarnya, lalu pergi.

Apakah kakek masih marah karena ucapan putranya tadi sore? Apakah aku menjadi alasan ibuku meninggal? Apakah aku menjadi seperti Papa yang selama ini tidak ingin kujadikan panutan?

"Apakah aku salah masuk islam?" pertanyaan itu tiba-tiba keluar sendiri.

"Apakah benar, mama meninggal karena aku?"

Sebuah pertanyaan yang seharusnya tak pernah aku tanyakan. Dua baris kalimat itu hanya memperlihatkan sisi kekanak-kanakanku.
Benar, aku masih seorang anak yang selalu membutuhkan sosok ibu.

"Keluar dari pikiranmu itu!!" tegasnya, kemudian hilang menyisakan aku yang beku di bawah padamnya lampu.

-----

Setiap pagi selalu ada harapan bisa melalui hari dengan baik sampai malam mendatang tanpa ada drama kecewa dan hal buruk lainnya. Akan tetapi, itu termasuk bagian dari kemustahilan untuk orang yang sedang berusaha dan berjuang. Pasti ada sesuatu terjadi yang berhasil membuat mood berantakan. Dan mungkin ia termasuk dalam bagian yang harus diperjuangkan.

Serupa dengan hari lainnya, tiap pagi selalu tersedia makanan di meja ini dan harus dihabiskan oleh kedua penghuninya. Bedanya, kakek tidak memakai baju rapi seperti biasanya. Mungkin dia sedang bolos bekerja. Sesuka dia, sih. Enaknya jadi bos itu emang bisa kapan saja ngambil hari libur.

"Kakek tahu ini nggak mudah buat kamu, Kaf. Kamu juga sudah pasti hancur. Mungkin selamanya nggak bisa utuh lagi. Tapi, semua ini sama sekali bukan kesalahanmu. Keluar dari gelapnya nyalahin diri sendiri. Kamu berhak membawa hidupmu ke mana pun dan pilihanmu sudah tepat," nasihatnya tiba-tiba berhasil mengundang smirk-ku.

"Tiap orang sudah pasti berakhir mati. Aku memang sedih karena mama meninggal, tapi bukan itu yang membuatku hancur."

Kakek mengunci tatapannya, dia menunggu lanjutan dari ucapanku. "Cuma aku satunya-satunya anak mama, tapi aku gagal menghadiahkan akhir yang indah untuknya. Impianku berubah sejak tiga tahun lalu. Aku hanya ingin membawa mama ke dalam islam. Dan impian itu nggak pernah tercapai karena tokoh utamanya udah nggak ada."

"Bahkan yang selevel Rasulullah, kekasih Allah saja nggak bisa mengubah hati orang lain termasuk Abi Thalib, pamannya sendiri. Allah menghendaki pamannya meninggal dalam keadaan kafir sekalipun ia termasuk orang yang baik dan mendukung Rasulullah. Sementara kamu siapa?" balasnya sedikit sarkas.

"Kakek benar. Tapi, apa salahnya aku sedih?"

"Salah kalau kamu terus nyalahin diri sendiri."

"Aku cuma mau ketemu mama lagi nanti. Itu saja. Dan itu sulit, bahkan mungkin mustahil."

"Apa papamu nggak berarti apa-apa buat kamu?"

Yang terakhir itu berhasil membuatku berpikir, sejauh ini aku sama Papa? Bahkan nggak pernah terpikir untuk membuatnya bangga.

"Dia juga alasan kamu ada di dunia. Kamu tahu apa yang paling berat dan menyakiti orang tua laki-laki?"

Aku menggeleng cepat. Kakek mengalihkan korneanya ke sebarang tempat. Dengan berat, dia berkata, "Ketika anaknya yang dia jadikan pelita dan selalu diusahakan kebahagiaannya nggak pernah menghargai keberadaannya."

Perkataannya itu membungkam mulutku. Aku paham dengan benar bahwa ini diucapkannya sangat tulus. Ini yang dirasakan olehnya selama ini.

"Jangan terlalu keras sama papamu. Dia cuma kehilangan arah," lanjutnya.

"Setelah yang papa lakuin, kakek masih mengasihaninya?"

"Nggak ada orang tua yang mau anaknya menjalani hidup yang sama seperti mereka," balasnya, kemudian beranjak mengakhiri sesi deep talk ini.

Akan tetapi, aku tidak mau menyudahi ini.

"Bagaimana caranya?"

Dia menjeda langkahnya tanpa membalikkan tubuhnya.

"Bagaimana caranya aku sama mama tetap terhubung kalau doaku saja nggak sampai untuknya?"

"Apakah ini artinya akhir dari hubunganku sama mama? Apakah ini benar-benar akhirnya?"

Tanpa tanggapan, pria berumur itu melanjutkan langkahnya.

Menyakitkan. Tidak ada yang lebih sakit dari kisah orang tua dan anak yang beda keyakinan. Mereka berjalan bersama dengan iman yang berbeda. Bahkan berpisah pun jauh lebih menyiksa.

Ini harus diselesaikan. Fase menyedihkan ini harus berkesudahan. Aku tidak mau menjadi lelaki lebay yang terlalu melebih-lebihkan segalanya. Aku membenci part ini. Isinya sungguh memuakkan.

Namun, adakah sisa-sisa bahagia bagi mereka yang tinggal separuh? Jiwanya mati, tapi raganya masih utuh. Masih adakah alasan untuk senang bagi anak yang orang tuanya sudah hidup dalam tanah?

Di sisi lain, perkataan Sana di taman kemarin terngiang dalam benak. Bahwa orang tua yang hanya manusia biasa dan tidak bermaksud memberi kecewa dengan sengaja.

Apakah selama ini aku berlebihan tentang Papa?

-----
Pria yang terlalu emosional emang agak risih, ya. Cuma, kalau menyangkut ibu, apakah nggak boleh sedih? Harus banget memaksa keren?

Hehehe...

Thank you and sorry 🖤🖤🖤

LaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang