Bagian 7

65 8 0
                                    

"Tidak ada yang lebih menyedihkan dari dua iman dalam satu ikatan darah."
🍃🍃🍃🍃🍃

Muka Sana benar-benar seperti ekspresi Fizi tatkala mengatakan "Halah kain je. Bisa buat lagi lah"  lalu dibalas oleh Ipin "Mana bise. Kain tuh buatan amak saye" . Intinya seperti itu meski seharusnya tidak begitu. Maksudku, kurang tepat dengan perkataan dua tokoh kartun itu.

Karena kakek yang sudah kehilangan selera untuk bicara, aku menenangkan Sana dengan bahasa isyarat. Tidak tahu tersampaikan atau tidak. Yang penting, kan, usaha.

Aku juga memintanya untuk tetap di rumah karena takut Omar tiba-tiba bangun dan tidak menemukan siapapun. Selanjutnya aku mengajak kakek perlahan untuk melanjutkan niatnya yang tadi.

Kami berdua berjalan seperti orang asing. Padahal darahnya mengalir di tubuh kekarku ini. Eh tidak kekar, sih, cuma tinggi menjulang saja.

Tidak berniat untuk mengawali percakapan sebagai usaha mengusir gelisahnya itu, akhirnya kakek mengucapkan kalimat yang sudah ketebak olehku dari awal mengikutinya.

"Ngapain kamu ikut?" ketusnya sambil masuk ke benda kota bernama lift itu.

"Emang sejak kapan masjid terlarang bagi selain Islam?"

Kakek terdiam. Dia memilih bungkam karena malas berdebat atau dia sedang melawan sakit di hatinya dikarenakan ingatan masa lalu? Entahlah.

"Lagian kenapa kakek bilang gitu ke Sana?"
"Supaya kamu sadar diri kalau kalian itu nggak akan pernah bisa bersama."
"Haha kenapa harus sejauh itu, sih, Kek? Kan kalian baru ketemu."

"Sudah jelas perasaanmu ke dia."

Maksudku, kapan aku mengatakan akan bersama dia? Atau menyukainya? Apa yang dia lihat sampai mengatakan seperti itu? Aku juga belum pernah membuka mulut tentang Sana kepadanya. Aku hanya berterus terang kalau penasaran dengan hidupnya. Sejak kapan minat disama-artikan dengan suka?

"Dua iman dalam satu amin bukanlah hal yang mudah, Heh!! Belajar dari yang dulu-dulu. Jangan sampai kejadian ini terulang. Haruskah kamu menjadi alasan dia jauh dari Tuhannya?" jelasnya tanpa menghentikan langkahnya, tatapannya lurus ke depan.

"Tapi lebih sulit dua amin dalam satu iman, kan, Kek? Ketika dua doa yang berbeda bertarung di langit untuk satu takdir yang sama. Dia mendoakan orang lain sementara aku.... mendoakan dia."

"Maksudmu.... jangan bilang...."

Untuk menghentikan pikiran anehnya lebih jauh, aku langsung mengagetkannya dengan memberi tahu kalau kami sudah tiba di Masjid at-Tin. Lebih tepatnya di dekat basemen P1 Mall Green Pramuka Square, jadi kami yang tinggal di tower Bougenville ini perlu keluar masuk mall yang terletak di tower Orchid.

Tiap lima belas menit sebelum adzan, kakek sudah berangkat dari tempat tinggalnya di lantai 6 itu. Niat awalku tinggal di sini memang untuk menjaganya. Menjaga sama dengan memata-matai. Oleh karena itu, aku hampir hafal kebiasaannya.

Setelah menyuruh kakek berwudhu, aku pun melakukan hal yang serupa. Kalau kalian ingat, aku juga melaksanakan salat.

Yes, true. Aku mualaf... sejak tiga tahun lalu. Sengaja aku sembunyikan ini dari keluarga karena tidak ingin perang besar selanjutnya terjadi.

Tidak heran jika Sana amat bingung. Karena dia juga pernah tidak sengaja berpapasan denganku di mushalla rumah sakit. Jadi wajar saja dia menanyakan hal yang menurut kakek termasuk pertanyaan sensitif itu.

Soal nama, ini bukan nama ganti seorang mualaf. Ini nama dari lahir. Kakek yang memberinya. Untuk mendapatkan nama ini perlu melewati perang dunia ke III.

LaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang