Bagian 8

69 9 0
                                    

Aku tidak alim, tapi ingin menjadi hamba yang baik.
🍃🍃🍃🍃🍃

Sementara wanita pemilik nama lengkap Afsana Alara itu mengumpulkan nyawanya kembali, Omar tampak linglung keluar dari kamar. Barangkali dia kebingungan melihat tempat baru ini.

"Kalau sudah sukmanya kembali, langsung ke meja makan aja," sahut kakek pada Sana yang hanya menatap kosong ke arahnya.

Sedangkan aku menghampiri Omar dan memberi tahunya atas kepindahan mereka berdua. Omar sangat senang tatkala tahu akan bertetangga denganku. Entah mengapa jadi anak ini yang terobsesi padaku?

"Saya langsung pamit aja, Kek," ucap Sana setelah berdiri dan menemui kakek.

"Ok." Kakek langsung setuju karena dia memang tidak suka memaksa apa pun.

"Dokter, saya setuju dengan penawaran anda. Saya sewa apartemennya, urusan harganya terserah dokter. Saya sebentar saja di sini sampai menemukan tempat yang pas buat Omar," lanjutnya sembari menatapku yang baru saja akan duduk.

Kakek terlihat memandangi kami bergantian dengan tatapan datar. Mungkin ini karunia dari Allah, gelagatnya dan isi kepala kakek mudah sekali ditebak olehku. Dia terlihat sedang menyaksikan film yang pemeran utamanya dekat tapi bersekat.

"Kenapa bahasamu formal sekali? Bukannya kalian dekat?" celetuk kakek menatap Sana serius.

"Tidak...." balasan cepat dari Sana. Belum selesai dia menjelaskan, kakek langsung melanjutkan perkataannya lagi.

"Dan ini anakmu?" tangan kakek menunjuk Omar.

Suasana tiba-tiba hening. Sana kesulitan menjawab, lebih tepatnya dia kebingungan. Padahal dia boleh saja jujur kalau dirinya itu masih jomblo dan Omar ini adalah keponakannya. Itu lebih mudah, kan? Daripada harus mengatakan kalau Omar anaknya. Pertanyaan-pertanyaan berikutnya pasti lebih menyulitkan.

"Kek. Itu privasi. Kenapa harus menanyakan itu?" ujarku berusaha membantu Sana.

"Haruslah. Dia calon menantu kakek, kan," ucapan kakek berhasil membuat mataku mendelik sekaligus Sana yang tiba-tiba kepalanya terangkat.

"Tapi, itu nggak akan pernah terjadi. Kalian beda keyakinan, mana bisa satu tujuan," sambungnya lagi. Aneh, dia yang berasumsi sendiri, dia pun yang menolak itu.

"San. Ayo ikut aku. Kakek capek jalan kayaknya," pintaku membuat kakek melirik tajam.

Sana hanya mengiyakan tanpa bersuara. Dia segera berpamitan dengan sopan dan mengucapkan salam.

Tatapan kakek berubah saat Sana menyuruh Omar untuk mencium punggung tangannya. Matanya berair, tapi bibirnya tersenyum. Ia pun mengelus lembut ubun-ubun bocah itu. Seolah ingin mengatakan "Jadilah anak yang baik. Kamu kuat".

Setelah drama yang membuat tengkukku merinding, kami bertiga keluar dari rumah kakek menuju rumah di depannya yang kini menjadi tempat tinggal Sana.

"Nih."

Aku menjulurkan acscsess card pada Sana yang kemudian diambilnya dengan canggung. Wanita di sampingku ini hanya mengangguk paham tapi tetap diam tanpa ada tanda-tanda maju untuk membuka pintu.

"Kenapa masih diam?" tanyaku heran.
"Hah? saya yang membukanya?" Dia balik bertanya dengan wajahnya yang amat polos.
"Sudah jadi rumahmu, kan?"
"Dokter aja dulu."
"Maksudmu, aku juga masuk ke dalam?"

Secepat kilat jarinya sudah menempelkan kartu ke papan kecil yang melekat di pintu berwarna putih itu. Tidak bisa dipungkiri, segaris senyum tersimpul di wajahku tanpa diminta melihat tingkah lakunya.

LaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang