Bagian 22

36 3 0
                                    

"Aku juga pernah mencintai sedalam ini sebelumnya, tapi tidak sepasrah ini."
🍃🍃🍃

Aku tahu, San, kamu menghilang karena alasan yang jelas. Tetapi, haruskah?

Ah, aku terlalu melankonis untuk dikatakan pria yang gagah. Atau aku pindah saja dari sini? Tapi, kamu memintaku untuk tetap di sini. Secara tidak langsung, surat itu mengatakan kalau kamu akan kembali. Maka, aku akan menunggu. Setahun? Dua tahun? Berapa pun lamanya, selama itu kamu, maka aku sedia menghabiskan waktuku untuk tetap di sini.

"Halo. Assalamualaikum."

Azzam menelponku. Aku masih berusaha untuk tetap datang ke kajian di rumahnya. Memang kamis kemarin terpaksa kukosongkan. Bukan tanpa alasan, hanya terlalu berat untuk berinteraksi dengan sekitar saat hati sedang ingin sendirian.

Dia mengingatkanku kalau sekarang hari kamis. "Ah. Gue belum bisa ke sana, Bro," kataku jujur.

"Jawaban salam gue mana, Kaf?"

Lagi-lagi aku lupa menjawab salam hukumnya wajib. Aku segera menjawabnya meski dengan rasa tidak enak.

"Gue di depan rumah lo. Rumah lo kedap suara sampai ketukan pintu nggak kedengaran?"

"Lo di depan?"

Aku segera membuka pintu tanpa mematikan sambungan telepon. Azzam memang di depan rumahku. Aku lupa memberi tahunya kalau aku pindah ke rumah kakek.

"Zam."

Dia mendadak bingung melihatku memanggil dari rumah sebelah. Sikap salah tingkah karena malu sangat kentara.

"Seingat gue, rumah lo di sana," katanya menggantung.

"Ini rumah kakek."

"Ah. Oh iya," balasnya, menepuk pundakku berulang. Pria dingin ini kesulitan mengekspresikan perasaannya. Jika bukan aku mungkin orang lain akan menganggapnya aneh. Siapa yang akan mengerti jika perkataan "Oh iya" yang dimaksudnya barusan adalah turut berduka cita?

"Diterima meski telat," jawabku dingin.

"Gue lihat lo sama Alara waktu itu."

"Jadi, lo pulang?"

Aku menyeduhkan teh untuknya karena dia bukan coffelable. Dia mengangguk, pertanda pembahasan sudah berakhir.

"Katakan, apa hubungan lo sama Alara?" ucapku tanpa aksen mengintimidasi.

Azzam meliriku kemudian mengambil tehnya. Tanpa membalas tatapanku, dia menjawab, "Hanya, adik dan kakak kelas?"

"Oh berarti lo kenal Ayya dan Syifa? Mereka lem dan perangko."

Karena pertanyaanku itu, teh Azzam tumpah karena yang memegangnya terkejut. Kenapa harus kaget?

"Syifa? Maulidatul Asyifa?"

"Iya. Mereka bertiga sahabatan. Mustahil lo nggak tahu."

Mendadak Azzam terdiam. Dia mematung dengan tatapan kosong. Apa yang dia pikirkan pun aku tidak bisa menebaknya. Yang aku tahu pasti, ini tentang Asyifa.

"Kenapa ekspresi lo kayak gitu?"

Pria di depanku ini gelagapan tapi berusaha untuk terlihat tenang. Ia tidak berniat untuk menjawab pertanyaanku. Begitu pun aku yang sama sekali tidak penasaran. Dari awal menanyakan ini memang punya maksud lain.

"Ah lupakan lupakan. Gue mau tahu tanggapan lo deh."

"Silahkan," balasnya, sudah kembali santai.

"Ini teman gue di rumah sakit.. hmm.. jadi, dia dapat surat. Isinya gini, kalau boleh, di masa depan, aku beli rumah ini. Itu kalimat pengganti dari meminta buat nggak kemana-mana, kan?"

LaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang